The Croods – Sebuah Pencarian

The_Croods_poster

The Croods berkisah tentang sebuah keluarga pra-sejarah yang hidup pada era sebelum ditemukannya api. Keluarga yang terdiri dari; ayah (Grug), ibu (Ugga), tiga orang anak (Thunk, Eap dan Sandy) tinggal bersama nenek yang merupakan orang tua sang ibu (Gran).  Eap adalah gadis yang menolak petuah sang ayah untuk menghabiskan sebagian besar waktunya di dalam gua yang diyakini sang ayah menjamin keamanan seluruh keluarga dari serangan binatang buas, dan bahaya lain yang mengancam. Eap merasa terkekang dengan peraturan yang dibuat sang ayah. Kenyataan bahwa keluarga yang dipimpin Grug telah menjadi satu-satunya keluarga yang bertahan hidup di wilayah tersebut menyebabkan Grug tak mampu memahami keinginan Eap. Hingga pada suatu hari, Eap bertekad untuk keluar dari gua tempat tinggalnya di malam hari demi mengejar secercah cahaya yang menyusup ke guanya. Pertemuan Eap dengan Guy, anak lelaki yang mengenalkannya pada api, membuatnya mengerti bahwa tempatnya tinggal tak lama lagi akan hancur. Mereka harus menemukan tempat tinggal yang baru. Petualangan seru keluarga Eap dimulai saat Grug menemukan kenyataan bahwa gua tempat tinggalnya selama ini runtuh dan memaksanya mencari tempat tinggal yang baru.

Latar belakang pra-sejarah dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi lebih ‘berwarna’. Hewan pra-sejarah yang selama ini lebih banyak digambarkan sebagai pengembangan bentuk reptil yang didominasi warna coklat kelabu, di film ini dibentuk ulang dengan kombinasi warna yang lebih menarik seperti burung pemakan daging yang berwarna merah cerah, burung unta dan telurnya yang berwarna seperti pelangi, kucing purba bergigi taring besar dan mencuat pun berwarna mirip pelangi dan masih banyak lagi. Untuk saya dan anak-anak yang menghendaki tontonan yang menghibur, campuran warna tersebut mengurangi kebosanan karena toh cerita ini fantasi. Meski saya kemudian tidak benar-benar yakin apakah kisah fantasi memiliki batasan tertentu sehubungan dengan setting waktu dan tempat yang dipakai. Maksud saya, seberapa banyak khayalan memiliki hak untuk dibaurkan begitu saja ke dalam cerita demi tujuan menghibur.

Humor yang disajikan harus diakui berhasil menjadi daya tarik tersendiri film ini. Ketangguhan keluarga Grug mencari makan di awal cerita menjadi sajian pembuka yang sangat menarik. Belum lagi bila berbicara tentang humor di dalam dialog-dialognya. Grug yang selalu menghitung jumlah anggota keluarganya untuk memastikan bahwa mereka aman selalu ditutup dengan rasa penyesalan saat menyadari bahwa Gran (mertuanya yang cerewet) ternyata masih hidup sebagaimana anggota keluarga yang lain.

Beberapa hal yang terasa kurang mengena yaitu kucing purba ganas yang sejak awal cerita memburu keluarga Croods tiba-tiba menjadi jinak di saat Grug terkurung di dalam gua dan tak punya jalan keluar dari kejaran hewan tersebut. Kemudian tanah baru yang disebut di dalam cerita sebagai ‘masa depan’ ternyata adalah sebuah tujuan yang secara lokasi terkesan absurd karena tanah tersebut didapatkan begitu saja saat mereka berlari menghindari retakan bumi ke arah matahari. Tidak ada keterkaitan yang jelas antara keyakinan Guy akan sebuah masa depan baru dengan tanah yang ditemukan di akhir cerita.

Kegigihan Eap menentang keyakinan sang ayah mengingatkan saya pada tokoh Merida dalam film Brave produksi Pixar Animation Studio yang memperjuangkan keinginannya yang berlawanan dengan sang ibu. Bedanya, Merinda dibantu oleh kekuatan magis sedangkan Eap dibantu oleh seorang pria bernama Guy dan hewan peliharaannya semacam musang yang bernama Belt.

Guy dan Belt mungkin dimaksudkan untuk memberikan analogi singkat tentang peradaban masa kini yang mengajak Grug dan keluarganya untuk keluar dari kebiasaan lamanya berlindung di balik guanya yang gelap dan melepaskan diri dari ‘fear’ (rasa takut).

Untuk sebuah tontonan yang menghibur, boleh dibilang The Croods sukses. Namun pesan moral tentang “keberanian keluar dari rasa takut yang telah dirasakan sebagai kenyamanan” menurut saya diberi makna terlalu luas. Akhirnya , usaha untuk merangkumnya terasa dipaksakan.

Bercermin pada Kelemahan SeeFood

Saya dan anak-anak melewatkan hari libur Kenaikan Isa Almasih kemarin dengan menonton bioskop. Jalanan kota Jakarta yang begitu lengang sangat disayangkan bila tidak dinikmati dengan bepergian. Namun yang saya ingin ceritakan bukanlah tentang liburan atau jalanan di Jakarta, tapi tentang film yang saya tonton dengan anak-anak.

Berhubung kami sekeluarga adalah penggemar film kartun, maka SeeFood kami pilih untuk dijadikan tontonan. Gambar di posternya menarik. Seekor hiu kecil yang terdampar di daratan dengan latar belakang sebuah robot yang di bagian kepalanya adalah akuarium ikan. Siapa yang tidak penasaran dengan ceritanya?

Ok, saya akan segera mulai dengan kisah SeeFood secara ringkas. Film ini berkisah tentang persahabatan hiu bambu dan hiu sirip putih. Perbedaan ukuran yang drastis dari keduanya tidak menghalangi persahabatan yang sudah ada. Hiu bambu yang bernama Pup hidup berdampingan dengan Juliet, sang hiu sirip putih yang ukuran tubuhnya hampir 20 kali lipatnya. Konflik terjadi kala Pup mengetahui kalau telur-telur hiu bambu yang terselip di antara tumbuhan laut dan hampir menetas secara alami dicuri oleh manusia. Sang pencuri adalah pemasok daging dan sirip hiu untuk keperluan rumah makan. Pup berupaya untuk menyelamatkan telur-telur yang dicuri itu meskipun nyawa taruhannya. Ia nekat pergi ke darat dan mengerahkan seluruh tenaganya dengan terseok-seok berjalan menggunakan siripnya di darat. Singkat cerita Pup berhasil menemukan tempat di sembunyikannya telur-telur hiu tersebut. Juliet ditemani tiga ekor ikan kecil mencari Pup yang keberadaannya tidak terlacak di dasar laut. Seekor gurita yang bernama Okto berhasil merakit robot yang dapat berjalan di darat. Dengan bantuan robot tersebut Juliet mencari Pup di darat. Cerita ditutup dengan keberhasilan Pup menyelamatkan telur-telur hiu, bertemu dengan Juliet kembali sekaligus menyebabkan dibekuknya kawanan pemasok daging dan sirip hiu illegal oleh polisi.

Secara ringkas film ini memberikan kritik sosial terhadap pelestarian lingkungan dasar laut. Tema yang tak habis-habisnya diangkat ke layar kaca. Film adalah sarana visual yang diyakini dapat memberikan pengaruh yang berarti pada pandangan hidup dan pola pikir seseorang. Namun semua itu baru dapat mengenai sasaran bila film tersebut dikemas dengan baik dan menarik mulai dari alur cerita, urutan adegan, penentuan karakter tokoh dan segala aspek yang mendukung terciptanya sebuah film. Sayangnya SeeFood yang diproduksi oleh Silver Ant dan Al-Jazeera Children Channel belum mampu menampilkan keindahan sebuah film kartun yang pada akhirnya penonton juga setengah-setengah dalam memahami ajakan dalam film tersebut. Itu menurut saya.

Meski demikian, SeeFood memberikan saya beberapa pelajaran berharga dari kelemahan-kelemahan yang ada di dalamnya.

Pertama, belum pernah sebelumnya saya merasakan begitu bosan dan mengantuk kala menonton film kartun di tiga puluh menit pertama. Sampai-sampai di twitter, dengan gaya sok tahu saya menuliskan kalau kemungkinan production house yang memproduksi film SeeFood ini belum berpengalaman memproduksi film kartun. Ya, harus saya akui bahwa Disney sebagai salah satu spesialis film kartun selalu berhasil memukau penonton pada lima belas menit pertama. Bagi saya penonton setia film kartun, hal tersebut adalah sebuah keharusan. Sebagaimana paragraf pertama dalam sebuah cerpen harus memukau. Juga tiga puluh lembar pertama sebuah novel.

Mengapa membosankan? Hingga hampir tiga puluh menit pertama, film ini disibukkan dengan pengenalan karakter yang tidak jelas maksud dan tujuannya. Adegan demi adegan ditampilkan tanpa ada keterkaitan yang jelas.

Sebagai pembanding, dalam Finding Nemo produksi Pixar Film, film dibuka dengan adegan ikan badut betina yang dimangsa oleh ikan yang lebih besar. Ikan badut tersebut adalah ibu Nemo. Kejadian tersebut menyebabkan ayah Nemo kemudian menjadi over protective terhadap Nemo.

Dalam Lilo and Stitch produksi Disney, situasi di dalam sebuah pesawat alien yang memproduksi makhluk penghancur ditampilkan secara utuh. Siapa ilmuwan yang membuat makhluk tersebut, keinginannya, nasibnya, dan kemudian bagaimana akhirnya makhluk penghancur tersebut lepas dan mendarat di muka bumi.

Kedua, tokoh antagonis yang bermacam-macam tidak disajikan keterlibatannya dengan baik. Cerita ini akan lebih bisa dinikmati dengan cukup  satu pihak tokoh antagonis yang jelas mendukung maksud dan tujuan akhir cerita yaitu pelestarian lingkungan laut. Tokoh antagonis yang ditampilkan lewat pemasok sirip hiu illegal tampil secara seimbang dengan sekelompok kepiting dan belut listrik yang ingin menguasai wilayah laut yang lebih jernih dengan membujuk Pup dan Juliet supaya ke darat, untuk memusnahkan keduanya karena hiu ditakuti oleh kelompok antagonis kedua ini. Tokoh antagonis kedua ini tidak mendukung cerita. Hingga pada akhirnya hanya menyebabkan konflik di cerita menjadi bias. Penonton seperti saya pun menjadi bingung.

Lagi-lagi saya mesti membandingkan dengan film kartun kegemaran saya, Lilo and Stitch. Stitch sebagai tokoh utama mewakili peran antagonis pada awal cerita. Cukup berbekal satu makhluk antagonis ini cerita bergulir mulus. Stitch dalam perjalanannya di bumi (tepatnya di kepulauan Hawaii) mengalami perubahan sifat. Ia tersentuh oleh kebaikan Lilo yang yatim piatu namun sayang padanya. Saat Stitch berubah menjadi protogonis, ia harus berhadapan dengan anggota pesawat alien tempatnya di produksi yang ingin mengembalikan dirinya ke tempat asalnya. Stitch menolak dan konflik terjadi. Untuk saya, cerita semacam ini sangat mampu dinikmati oleh penonton.

Selain itu, dalam film SeeFood, seekor ikan pari diciptakan sebagai pengkhianat bermuka dua yang sayangnya lagi-lagi keberpihakannya tidak jelas. Motif pengkhianatannya seperti lupa diceritakan. Di awal cerita ia berpihak pada tokoh antagonis tanpa alasan yang jelas, kemudian di akhir beralih muka ke tokoh protagonis juga tanpa alasan yang memadai. Saya jadi teringat kiat-kiat menciptakan tokoh yang disampaikan oleh seorang penulis novel laris Clara Ng di sebuah workshop menulis. Beliau mengatakan bahwa karakter perlu konsisten. Untuk membentuk karakter yang konsisten, salah satu cara yang praktis adalah membuat analogi karakter tersebut dengan benda mati. Misal kursi, meja, bunga, dan lain sebagainya. Tujuannya agar sifat-sifat yang dimiliki oleh tokoh menjadi jelas. Menggunakan manusia sebagai analogi karakter sebuah tokoh terlalu rumit. Manusia adalah makhluk yang sangat kompleks pikiran dan perasaannya. Pengalaman saya menulis cerita fiksi dengan menggunakan analogi karakter manusia langsung menyebabkan tokoh tersebut terkesan ‘banci’ dalam bersikap. Karakter tokoh menjadi lemah. Pikiran dan perasaan yang hanya tersimpan dalam lubuk hati manusia juga tersimpan rapat dalam karakter tersebut pada akhirnya. Sementara pembaca novel ataupun penonton film tidak dapat menebak perasaan dan pikiran yang tersimpan rapat tersebut. Hal tersebut tidak mungkin mereka lakukan karena mereka adalah pembaca dan penonton yang memandang bagian luar dari sebuah karya tulis atau peran. Segala yang mendukung cerita tersebut haruslah tampil untuk dapat mereka nikmati.

Ketiga, terlalu banyak adegan yang keterlibatannya di dalam cerita tidak jelas hingga akhirnya mengacaukan pemahaman penonton hingga akhir cerita.

Okto, seekor gurita yang menyukai kegiatan merangkai benda-benda mekanik diperlihatkan mengintip sebuah siaran televisi melalui kaca kapal selam yang sedang berada di perairan tempatnya tinggal. Di dalam kapal selam itu terdapat anak dan ayah yang sedang menonton televisi. Siaran televisi tersebut menampilkan peluncuran pesawat ulang alik. Okto menggambar bentuk pesawat tersebut di dinding luar kapal selam. Kemudian diperlihatkan adegan Okto yang sedang merangkai sesuatu. Benda tersebut yang kemudian digunakan Juliet dan teman-temannya untuk melakukan perjalanan di darat. Adegan Okto melihat tayangan televisi kemudian menggambar bentuk pesawat terkesan dipaksakan karena bentuk robot yang akhirnya dirakit Okto sama sekali berbeda dengan pesawat ulang alik yang dilihatnya. Persamaannya adalah pada sistem yang membuatnya dapat terbang. Dan tidak terhitung beberapa adegan lain yang tidak jelas keterlibatannya dalam mendukung cerita.

Keempat, setting cerita yang tidak jelas.

Saya menduga settingnya adalah di perairan Malaysia. Dan, benar adanya setelah searching tentang serba serbi film ini di Google. Namun entah mengapa penggambaran setting cerita di film ini kurang jelas. Hiu bambu hidup di perairan Asia Pacific, tidak hanya Malaysia. Keadaan pantai yang banyak ditumbuhi pohon kelapa juga terdapat di banyak pantai di negara-negara di Asia. Kain batik yang dikibarkan berulang-ulang pada saat pemasok sirip hiu illegal mengejar Juliet dan teman-temannya sayangnya juga dimiliki oleh lebih dari satu negara di kawasan Asia. Seandainya tokoh-tokoh manusia di film tersebut diberi nama dengan nama yang khas nama Malaysia tentunya setting menjadi lebih jelas. Atau beberapa panggilan untuk menyebut teman, adik, kakak tetap menggunakan sebutan dalam bahasa melayu Malaysia.

Sebagai contoh, dalam Finding Nemo, Nemo yang tersesat sampai di Sydney diceritakan terdampar di sebuah akuarium seorang dokter gigi. Dokter gigi tersebut bercakap-cakap dengan dialek Australian English. Selain itu, ditampilkan pula burung-burung pantai yang menguasai perairan Australia, Opera House of Sydney dan beberapa bangunan yang menjelaskan keberadaan Nemo di salah satu kota di Australia tersebut. Semua yang menjadi ciri khas kota Sydney ditampilkan sehingga dalam waktu singkat penonton mengerti setting adegan tersebut.

Kelima, soundtrack yang tidak digarap dengan baik.

Tidak terhitung banyaknya kesuksesan sebuah lagu yang menjadi original soundtrack film pada awalnya. Mendukung dan memperkuat adegan-adegan dalam film animasi. Sekali lagi saya harus menyebut nama Disney, sang raja film kartun, yang selalu menggarap lagu-lagu yang mengisi film-filmnya dengan baik. Ambil contoh lagu yang dibawakan Christina Aguilera yang menjadi soundtrack film kartun Mulan. Fly to Your Heart yang dibawakan oleh Selena Gomez menghias film kartun Tinker Bell dengan indah, dan masih banyak lagi.

Saya sebagai penggemar film kartun dan penikmat novel fiksi yang sedang berlatih mempertajam intuisi menulis fiksi merasa harus berterima kasih dengan hadirnya film kartun SeeFood ini yang telah membuat saya melihat kelemahan-kelemahan yang harus diantisipasi dalam sebuah karya fiksi.

Jakarta, 07 April 2012