Mata-Mata

Kakek memejamkan matanya sebentar. Seperti ada yang berusaha diingatnya. Sebenarnya itulah yang selalu ia lakukan setiap kali cerita tentang ‘prajurit kecil pemimpi’ itu sampai pada bagian dimana sang prajurit mulai berhasil meraih setiap impiannya, harapan-harapannya, yang selalu ditanamkan kuat dalam hati dan jiwanya sejak kecil. Kisah yang satu ini tidak bosan-bosannya diceritakannya kepadaku. Berulang-ulang, hingga aku hafal diluar kepala. Kakek adalah sosok yang dekat tidak hanya denganku tapi juga dengan semua cucu-cucunya. Tak ada yang protes ketika ia bercerita lagi dan lagi tentang ‘prajurit kecil pemimpi’nya.

Cerita sederhana yang bermula dari lahirnya bayi mungil di musim dingin yang menggigit di bagian utara Cina atau kakek lebih suka menyebutnya Tiongkok. Terus terang aku dan cucu-cucu kakek yang lain kadang bertanya-tanya apakah kisah ini sebuah legenda, kisah nyata, ataulah khayalan kakek semata. Namun tak seorangpun berani bertanya. Kakek melanjutkan ceritanya. Ketika kaisar yang berkuasa di Tiongkok membutuhkan jumlah tentara lebih banyak untuk mempertahankan keutuhan wilayahnya, ‘prajurit kecil pemimpi’ memulai perjalanannya untuk mendaftarkan dirinya menjadi tentara kerajaan. Usianya baru 15 tahun waktu itu. Ia berangkat dengan berbekal mimpi suatu saat nanti kerajaan akan menganugerahinya tanda jasa sebagai pahlawan sejati karena kegigihannya membela nama kerajaan. Kakek biasanya memejamkan mata sebentar di bagian ini, sebelum akhirnya melanjutkannya dengan sangat bersemangat kala menceritakan tentang prestasi-prestasi yang berhasil diraih prajurit kecil. Kakek kerap memperagakan dengan sepenuh hati bagaimana prajurit kecil berhasil lolos dari incaran tentara musuh, bersembunyi di sebuah lubang yang ternyata adalah sarang ular berbisa. Kepiawaian prajurit kecil memainkan tombak pun diceritakan oleh kakek tidak kalah menariknya dengan bagian yang lain. Kami, cucu-cucunya, seolah disuguhi sebuah tontonan film laga yang semakin hari semakin memukau. Gambaran yang kakek berikan begitu hidup. Begitu bermakna. Tanpa ia banyak bicara sesudahnya, kami semua pendengarnya mengerti bahwa kakek sedang mencoba untuk menularkan semangat yang dimiliki prajurit kecil kepada cucu-cucunya. Sebuah harapan sedang berusaha ia sandarkan ke pundak kami. Cerita ditutup dengan penyematan tanda jasa kepada ‘prajurit kecil pemimpi’ oleh sang kaisar sendiri, tidak diwakilkan oleh orang lain. Sang prajurit tidak hanya bermimpi. Ia melengkapi mimpinya dengan usaha, kerja keras dan doa.

*

15 tahun kemudian….

Rumah makan di kanan kiri kafe itu satu per satu mulai tutup. Jam dinding telah menunjukkan pukul 10 malam. Di kafe itupun tinggal tiga orang pria yang terlihat serius membicarakan sesuatu. Pria yang mengenakan setelan jas mahal terlihat lebih tua ketimbang yang lain. Rambutnya mulai memutih. Ia sibuk dengan telepon genggamnya yang semenjak ia masuk ke kafe itu nyaris tidak pernah berhenti beraktifitas. Raut mukanya penuh dengan kekhawatiran yang berusaha disembunyikannya serapat mungkin dengan senyuman serta kata-kata lembut nan manis yang keluar dari mulutnya. Yang satu lagi berbadan sedang, dengan wajah menawan dan rambut tertata rapi. Penampilannya terlihat jauh lebih muda dengan paduan jaket kulit dan celana jeans. Pria kaku dengan ekspresi wajah ragu duduk di depan kedua orang tadi. Seorang perwira dari jajaran kepolisian. Siapapun yang memandang sang perwira dapat membaca kekakuan yang telah tertawan di bawah kekuasaan uang. Ia tidak sedang mengenakan seragam polisinya. Seragam itu memberinya beban terlalu berat.

Meski ragu diwajahnya belum dapat disembunyikan, ia adalah seorang asisten andalan konglomerat yang saat ini ada dihadapannya. Lebih dari 2 proyek milik sang konglomerat berhasil dilaksanakannya dengan baik. Tanpa cacat dan cela. Seperti pemalsuan beberapa dokumen penting untuk kelancaran pencairan dana, serta pembuatan paspor palsu yang membuatnya kian dipercaya.

Andrew namanya. Sebelum diterima di jajaran kepolisian, hidupnya tidaklah mudah. Ayahnya pengangguran yang sehari-harinya kerap mempertaruhkan uang yang dimiliki keluarganya di meja judi. Mau tidak mau sang ibu bekerja membanting tulang sebagai tukang cuci serabutan, berjualan makanan, dan terkadang juga bekerja paruh waktu di sebuah pabrik kecil tak jauh dari tempat tinggal mereka. Andrew kecil sudah terbiasa merasakan perihnya kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya bersama sang ibu. Pilihan hidupnya yang sejak semula memang sangat terbatas, semenjak kematian ibunya menjadi nyaris lenyap tak berbekas. Ia tahu bahwa kehidupannya tidak akan dapat berlangsung jika ia tetap tinggal bersama sang ayah. Ia harus pergi. Tak tahu kemana, yang penting jauh dari orang yang telah sekian lama menyiksanya. Andrew berusia 12 tahun kala melangkahkan kakinya keluar dari rumah tempat ia lahir, selama-lamanya.

Andrew merasa dewi fortuna melindungi langkahnya. Seorang lelaki tua veteran perang memeluknya hangat, membesarkan nyalinya untuk meneruskan kehidupan yang sejak awal telah dianggapnya tidak berpihak padanya. Ia tidak sanggup memanggil ‘ayah’ kepada lelaki tua itu karena bayang gelap masa lalunya selalu datang setiap kali dirinya mendengar kata ‘ayah’. Sebagai gantinya, ia memanggilnya ‘kakek’, lebih sesuai mengingat usianya yang memang sudah pantas menyandang gelar tersebut.

Hari ini, di kafe ini, Andrew merasa cita-citanya untuk membahagiakan dirinya sekaligus kakek yang telah mengasuhnya terbentang didepan mata. Untuk semua yang ingin diraihnya. Ia siap menanggung resiko apapun. Sang kakek berhak untuk mendapatkan seluruh hasil kerja kerasnya, gumamnya. Tidak terlalu sulit membantu pelaksanaan impor fiktif yang telah direncanakan malam ini dengan teliti. Seluruh detil pelaksanaan dirinya lah yang berperan. Ia tahu persis apa saja yang mesti dilakukannya. Tidak akan meleset barang sedikitpun.

Sejak tinggal bersama ‘kakek’, ia telah membiasakan dirinya berkubang dalam mimpi dan harapan akan masa depan. Mimpi indah akan sebuah rumah mewah dengan halaman luas, yang berlokasi tidak jauh dari rumah orang yang telah membesarkannya hingga saat ini. ‘Kakek’ pun kelak ia yang akan menjamin kehidupannya. Berbekal foto-foto yang didapatnya dari koran bekas, Andrew mulai membangun dengan lebih jelas tumpukan kristal-kristal mimpinya dalam sebuah buku khusus. Sebuah buku mungil berisi foto rumah megah, mobil mewah, dan sebuah lencana. Ia tidak benar-benar mengerti arti lencana yang turut ia tempelkan di buku mimpinya. Ia hanya menduga sebuah penghargaan akan jasa besar seseorang kira-kira bentuknya tidak akan terlalu jauh dari gambar yang berhasil didapatnya dari sebuah majalah.

Saat ini buku itu sudah tidak ia perlukan lagi. Sudah lama ia membiarkan buku mimpinya berdebu di kolong tempat tidurnya. Ia tidak lagi bermimpi kali ini, tinggal selangkah untuk dapat meraih semua yang diinginkannya dalam hidup.

“Masih ada yang ingin ditanyakan, Pak Andrew ?” ujar lelaki perlente separuh baya yang sedari tadi sibuk dengan telepon genggamnya memecah kesunyian.

“Lebih dari jelas, Pak Albert. Segera setelah semua dokumen yang diperlukan siap, saya akan menghubungi bapak. Mengenai orang-orang dari pihak bea cukai dan pajak, semua saya yang akan urus. Bapak tinggal menunggu hasilnya.”

Yang disebut Pak Albert tersenyum puas, sambil berdiri bersiap meninggalkan kafe malam itu. Seorang asisten pribadinya menemani sambil membawakan segala perlengkapan yang dibawa atasannya masuk ke dalam mobil.

“Jangan khawatir Pak Andrew, imbalannya lebih dari pantas,” ujarnya sambil melambaikan tangan ke arah Andrew.

*

Hari ini adalah hari yang bersejarah dalam hidupku. Hari dimana semua anganku akan menjadi kenyataan. Sedikit informasi mengenai keberhasilan itu sudah kudapat dari kolega ku. Mempersiapkan diri untuk sebuah hari besar seperti ini sangatlah penting. Meski menghargai semua orang yang telah membuatku berada pada kebahagiaan ini tidaklah kalah pentingnya.

*

Orang didepanku saat ini mungkin mempunyai mimpi yang sama denganku. Bekerja untuk membangun keindahan duniawi dalam hidupnya. Perkara ia menuliskannya dalam sebuah buku atau tidak, itu tidaklah penting. Hasil akhir adalah bagian yang sangat menentukan apakah aku dan dia masih akan berada pada bingkai yang sama dalam sebuah pameran foto yang memajang ‘mimpi’ sebagai temanya.

“Pak Albert, meski akhir dari perjalanan kita berbeda, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada bapak atas kesediaannya mengingatkan saya selalu akan ‘mimpi’. Saya tidak akan melupakannya.”

Wajahnya mengeras. Sambil mengepalkan tangannya, sumpah serapah dialamatkannya padaku bertubi-tubi tanpa jeda. Aku berdiri tegak. Masih dihadapannya, meski kini jeruji besi memisahkanku darinya. Melindungiku dari sepak terjang kaki dan tangannya yang tak henti-henti dihantamkannya ke mana-mana.

Inilah akhir kisah kami. Ia menutup kisah pencarian akan mimpi-mimpinya dalam selubung seragam biru tahanan negara, dan aku dengan lencana yang tersemat didada. Disematkan oleh orang nomor satu di negara ini, bukan oleh orang lain. Membekuk perampok devisa negara sekelas Pak Albert bukanlah pekerjaan mudah. Menurut orang yang menyematkan lencana di dadaku saat itu, aku pantas mendapatkannya. Mendapatkan yang selama ini aku idam-idamkan. Kakek datang memberiku selamat atas penghargaan yang aku terima. Tersenyum bangga bahwa akhirnya, dongeng anak-anak yang dibuatnya selama ini untuk diceritakan kepada cucu-cucunya terwujud sudah.

Terima kasih Tuhan, Engkau karuniakan seorang kakek yang tanpa lelah menuntunku untuk meraih mimpiku selama ini.

Kepada ‘prajurit kecil pemimpi’, bersiap-siaplah untuk menjadi tokoh dalam kisahku untuk anak cucuku kelak…

 

Tamat

(Ditulis untuk #Proyek 7 Cerpen Hati, 7 November 2011)

Penulis: Nastiti Hanafi

Lahir pada Mei 1975. Alumnus Universitas Diponegoro, yang pernah berkarier sebagai manajer di Shipping Company ini menekuni dunia kepenulisan kreatif sejak 2012. Karya-karyanya telah tersiar di sejumlah media nasional seperti harian Media Indonesia, majalah MAJAS dan lain-lain. Pada 2013, novelnya (Bukan) Salah Waktu terpilih sebagai pemenang unggulan dalam Lomba Novel Wanita dalam Cerita Bentang Pustaka, dan diterbitkan oleh lembaga penerbitan yang sama. Selain menulis fiksi (cerpen dan novel), Nastiti yang pernah bermukim di Adelaide Australia (2002-2003) ini juga aktif di sejumlah komunitas pembaca novel-novel asing dan menyiarkan esai kritik buku (book review) dan kolom pengembangan kepribadian di berbagai platform digital. Bermukim di Jakarta. Dapat disapa melalui akun twitter @nastiti_ds maupun Instagram Nastiti Hanafi.

Tinggalkan komentar