Mencintai Hard Work Menghasilkan Smart Work

Dimuat Parrish&Co 21 Agustus 2019

Bila kita mengetikkan kata hard work and smart work di kolom pencarian google, akan kita temui beragam kisah yang menggambarkan perbedaan keduanya. Hard work (kerja keras) pada umumnya digambarkan sebagai sebuah upaya yang dilakukan terus menerus untuk meraih tujuan. Upaya tersebut dilakukan dalam kurun waktu yang tidak singkat untuk memperoleh hasil yang optimal. Ketekunan dan waktu menjadi kunci utama upaya jenis ini. Sementara smart work (kerja cerdas) adalah upaya meraih tujuan yang lebih banyak digambarkan sebagai sebuah proses keberhasilan melihat peluang, dimana pelaku berhasil meraih tujuan dalam waktu yang lebih singkat ketimbang hard work. Keberhasilan yang diraih pun tak jarang memiliki ruang lingkup yang lebih luas. Meningkatnya efisiensi kerja dalam berbagai bidang kemudian menuntut seseorang untuk mampu menempatkan dirinya sebagai smart worker, bukan lagi hard worker yang dipandang sebagai model kerja yang sudah ketinggalan zaman.

Seiring dengan waktu, ternyata smart work yang diyakini sebagai alat jitu meraih kesuksesan tidaklah sesederhana meringkas waktu pencapaian dengan mengandalkan kemampuan melihat peluang. Dalam bukunya yang berjudul Outliers (2008), Malcolm Gladwell memaparkan sebuah ide tentang 10.000-Hour Rule dimana pencapaian optimal seseorang dalam berkarir membutuhkan setidaknya sebuah level minimum berlatih tertentu yang dilakukan secara terus-menerus guna mencapai tingkatan ahli. Dalam kenyataannya, para peneliti menetapkan apa yang mereka yakini sebagai sebuah kurun waktu tertentu untuk meraih sebutan ahli, yaitu 10.000 jam. Dalam bukunya Galdwell menunjukkan bukti bahwa kehebatan sebuah pencapaian bukanlah berasal dari bakat alam melainkan melalui akumulasi latihan sebanyak-banyaknya yang dilakukan di waktu dan tempat yang tepat.

Cal Newport dalam bukunya berjudul So Good They Can’t Ignore You (2012) mengajak kita kembali mencermati pola pikir seperti apa yang layak dikembangkan dalam upaya meraih kesuksesan dalam berkarir. Hasil penelitian yang melibatkan beragam responden mulai dari musisi hingga penulis skrip film sukses di Amerika membuatnya yakin bahwa kerja keras (hard work) yang dilakukan secara konsisten dengan mengembangkan pola pikir perajin (craftman mindset) adalah kunci sukses berkarir. Craftman Mindset dapat dimulai dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

  1. Tentukan pangsa pasar/bidang yang diinginkan.

Secara umum bagian ini dijabarkan sebagai pangsa pasar yang menghendaki keahlian tunggal (winner-take-all) atau yang menghendaki keahlian beragam (auction). Menentukan pangsa pasar yang ingin digeluti menjadi penting mengingat persiapan yang dilakukan sangat berbeda. Newport memberi contoh bahwa bidang penulisan skrip film televisi yang termasuk winner-take-all market tak bisa dicapai dengan mengandalkan pengalaman kerja dari beragam bidang sebagaimana layaknya seorang pemerhati lingkungan dimana sebaiknya ia menguasai berbagai bidang sebagai upaya menggeluti auction market.

2. Identifikasi modal yang dibutuhkan untuk mendukung pilihan pangsa pasar.

Modal yang dimaksud tentu tak hanya berkaitan dengan sejumlah materi atau pengalaman kerja. Kesempatan-kesempatan yang terbuka sejak penentuan pangsa pasar penting untuk dicermati dan ditindaklanjuti.

3. Tentukan makna “keberhasilan”.

Setiap individu memiliki tolok ukur terhadap keberhasilannya masing-masing. Adalah sangat penting untuk menentukan seperti apa keberhasilan yang ingin diraih setelah pangsa pasar dan modal ditentukan. Tanpa penentuan yang jelas, seorang tak akan mampu mengukur seberapa jauh usaha harus dilakukan untuk meraihnya.

4. Renggangkan dan hancurkan.

Satu hal yang penting dilakukan dalam menerapkan pola pikir perajin dalam meraih kesuksesan adalah praktik serius yang dilakukan secara terus-menerus (deliberate practice). Deliberate practice yang dimaksud di sini adalah sebuah praktik rutin yang mengeluarkan kita dari kondisi nyaman. Bila praktik yang dilakukan belum terasa tidak nyaman, itu artinya ia haruslah direnggangkan ke area yang lebih luas hingga rasa tidak nyaman tercapai. Anders Erricson menguraikan bahwa bila upaya merenggang tersebut tidak dilakukan, kita akan berhenti pada level tertentu sebelum kemudian berhenti pada zona nyaman. Upaya yang direnggangkan akan menghancurkan dinding zona nyaman dan membawa kita pada kesuksesan yang sesungguhnya.

5. Bersabar.

Untuk mencapai tingkatan ahli, bersabar melalui proses panjang akan menguji komitmen kita terhadap bidang yang sedang ditekuni. Bersabar juga menjadi bagian dari deliberate practice dalam menghadapi beragam hal manis yang menggiurkan yang akan selalu menggoda kita untuk beralih dari ketekunan yang telah dijalani.

            Memahami berkembangnya pola meraih kesuksesan dalam karir seperti diuraikan di atas, boleh kiranya disimpulkan bahwa kerja cerdas (smart work) adalah sebuah kemampuan dalam mencintai kerja keras (hard work) dimana seiring dengan waktu akan berubah menjadi peningkatan keahlian yang akan memberikan ciri khas tersendiri pada pencapaian. Keahlian itulah yang nantinya akan menentukan kesuksesan yang ingin diraih.

Diambil dari website Parrish&Co

Penulis: Nastiti Hanafi

Lahir pada Mei 1975. Alumnus Universitas Diponegoro, yang pernah berkarier sebagai manajer di Shipping Company ini menekuni dunia kepenulisan kreatif sejak 2012. Karya-karyanya telah tersiar di sejumlah media nasional seperti harian Media Indonesia, majalah MAJAS dan lain-lain. Pada 2013, novelnya (Bukan) Salah Waktu terpilih sebagai pemenang unggulan dalam Lomba Novel Wanita dalam Cerita Bentang Pustaka, dan diterbitkan oleh lembaga penerbitan yang sama. Selain menulis fiksi (cerpen dan novel), Nastiti yang pernah bermukim di Adelaide Australia (2002-2003) ini juga aktif di sejumlah komunitas pembaca novel-novel asing dan menyiarkan esai kritik buku (book review) dan kolom pengembangan kepribadian di berbagai platform digital. Bermukim di Jakarta. Dapat disapa melalui akun twitter @nastiti_ds maupun Instagram Nastiti Hanafi.

Tinggalkan komentar