Tako

Dimuat di majalah sastra MAJAS edisi 7

Diambil dari instagram pipitchoco

Bila seseorang menyukai dongengmu, bisa jadi hidupmu tak akan lama lagi.

Aku mendengar kecipak air. Bunyi sepasang kaki dengan langkah teratur menapaki jalanan yang tergenang. Ada yang bilang genangan tersebut karena kepala kota tak becus mengurus saluran air hingga hujan yang tak kunjung berhenti tak jua mengalir ke tempat yang semestinya. Aku tanyakan pada Pei, Juna dan Man di mana air itu seharusnya bermuara. Mereka hanya mengatakan ‘di endasmu!’

Kecipak air terdengar makin kuat dan cepat. Kenangan peristiwa berkelebat memangkas napas pendekku yang terengah. Aku tak lagi bersama Tako, kucing kesayanganku yang berwarna kembang telon, berbulu halus bak sutera. Matanya kehijauan dengan sorotnya yang teduh. Siapapun yang mengelus bulunya dapat segera melupakan hal-hal buruk yang menimpanya. Menggantikannya dengan harapan akan masa depan yang  indah. Siapapun yang bersitatap dengannya seolah sedang memandang danau paling tenang di muka bumi dan ingin tenggelam ke dalamnya. Hampir semua teman yang kukenal di kota Jakarta ini memercayainya. Jangan tanyakan bagaimana Pei, Juna dan Man yang kuceritakan tadi menyukai Tako. Mereka nyaris menyembahnya. Tako cepat mendengkur saat berada di pangkuan salah satunya. Dan mereka  bangga karenanya.

Aku menyimpan kisah bahwa Tako adalah Tesih yang mereka kenal. Anak pedagang cendol yang mangkal di sudut pasar sebelah timur. Gadis berkulit sawo matang yang jarang bicara dan mempunyai tahi lalat sebesar kelereng di lengan kanannya. Ia dikenal orang pasar sebagai asisten penjual cendol hanya hingga dirinya dilamar oleh mantan tukang ojek yang enggan beralih ke ojek online karena rasa solidaritasnya pada sesama teman seperjuangan di pasar. Ia juga enggan belajar mengoperasikan layar telepon pintar yang konon merusak otak anak sekolah itu. Orang itu adalah aku. Sesungguhnya aku bukannya enggan belajar mengoperasikan telepon pintar. Aku mau. Hanya saja aku tak pernah dipercaya untuk memilikinya. Tidak sebelum Tako akhirnya membantuku memperoleh segala yang kuinginkan.

Hampir tiap malam sebelum tidur, jauh sebelum Tako membantuku dengan caranya sendiri, aku kerap bergumam dalam bahasa Jawa tentang apa saja yang diceritakan teman-temanku di pasar. Kukatakan pada diriku sendiri apa jadinya kalau Juna tak juga menikah dengan Mawar, Muna, atau siapapun itu aku tak ingat namanya, janda beranak satu. Pasti dia masih berlagak menjaga penghuni pasar padahal mengincar gadis-gadis belia yang bisa diiming-imingi perhiasan hasil curiannya. ‘Kapokmu kapan, Jun’ terlontar begitu saja dari mulutku. Tako membuka sedikit matanya sebelum melanjutkan tidurnya dengan melingkarkan tubuhnya di dekat kepalaku. Ekornya yang panjang seringkali mampir ke wajahku. Tako sepertinya menganggap gumamanku nyanyian pengantar tidur. Ia sulit memejamkan mata bila tak ada hal yang kugumamkan sebelum kantuk menaklukkanku. Aku rasa, itulah awal mula aku terbiasa menjaga kedekatan dengan seseorang melalui dongeng. Sebrengsek apapun dongeng itu.

Dongengku tiap malam berganti sebagaimana kehidupan di sekitarku bergulir. Dengan tokoh yang itu-itu saja. Ketiga preman pasar yang telah kuanggap saudara sendiri: Pei, Juna dan Man. Mereka berubah seiring kesialan yang mereka anggap rezeki, sementara aku—sang pendongeng—masih berkutat dengan utang uang makan harian dan ketidakmampuan memiliki hape yang selalu menjadi bahan olok-olok utama di antara kami. Hingga suatu hari, di tengah lebatnya hujan yang mengguyur atap kamarku yang senantiasa bocor, Tako menghilang. Tako yang tak pernah mengeluh, Tako yang mendampingiku ke mana saja, Tako yang setia dengan dongengku, Tako yang dengannya aku rela tak memiliki kemajuan apapun di hidupku asalkan bisa bersamanya. Tidak, Tako tak boleh hilang!

*

Diambil dari koleksi pribadi

Sebut saja ia Juragan Owoh. Julukan itu sebenarnya kusematkan padanya setelah beberapa kali kami bertemu. Pertemuan kami tentu saja, tak mungkin tidak, berhubungan dengan hilangnya Tako yang membuatku panik setengah mati. Berlari di bawah terik matahari yang menyengat ataupun derai hujan yang menusuki kulit bagiku sama dramatiknya. Saat itu, tengah malam buta, aku menembus hujan sambil berdoa dramatisasi kali ini terlihat oleh yang kuasa hingga Ia mengembalikan Tako-ku tanpa kuharus gila karena frustasi. Mungkinkah ia mengeong di tengah hujan sambil menahan lapar? Menanti uluran tangan siapapun yang melihatnya berjalan sendiri di malam yang basah ini? Menjelang fajar, kulihat Tako-ku di dalam sebuah kandang di depan kios sate yang masih tutup. Saat itulah aku pertama kali berkenalan dengan Juragan Owoh.

Andai saja aku berkenalan saat ia belum ditinggal kabur istrinya yang mabuk kepayang dengan supir angkot dan anaknya yang diam-diam menghabiskan sisa tabungannya di bank, mungkin keadaannya akan lain.

“Kamu tau berapa harga ayam sekarang?” ujarnya membentakku saat aku mengatakan bahwa Tako adalah milikku. Mata merahnya melotot ke arahku. Tentu ia tak sungguh-sungguh bertanya hingga aku pun tak merasa perlu menjawab.

“Jawab!” Aku masih terdiam.

“Jawab! Kurang ajar!” Kipas sate di tangannya nyaris menyambar kepala Tako sebelum akhirnya aku memohon maaf padanya sambil menghalangi kipasnya menyentuh Tako.

“Maaf? Sini kembalikan uangku!”

Aku sedang berpikir keras bagaimana mengendalikan keadaan sementara orang-orang mulai berkerumun di sekitarku. Di luar dugaan, Juragan Owoh menyuruhku masuk ke dalam rumahnya. Rupanya ia pun jengah dengan orang-orang yang tak bisa mengendalikan diri untuk mencampuri urusan orang lain. Hatiku lega meski tak urung kemungkinan petaka baru justru baru dimulai.

Aku keliru. Di dalam rumahnya yang sekaligus berfungsi sebagai warung sate ia menyuruhku minum segelas air putih sebelum bercerita apa yang terjadi semalam saat ia lupa menutup pintu depan rumahnya.

“Entah berapa kucing, anjing, belum lagi tikus…monyet ada juga kali yang mampir lewat pintu depan mengambil ayam-ayam mentah di dalam lemari…”

Ia mengelap dahinya yang kering dengan tangan sambil memijit-mijit pelipisnya.

“Sekarang aku bisa minta apa sama binatang-binatang itu, ha!”

Sejak keinginan mendongeng selalu datang, aku kerap mempercayai instingku untuk mengatakan sesuatu tanpa berpikir terlebih dahulu. Dan itulah yang terjadi kemudian.

“Aku akan menggantinya…dengan dongeng…maksudku, Tako bisa bercerita…bukan begitu, maksudku aku bersama Tako bisa bercerita untuk mengurangi rasa sedih Bapak…”

Aku tak mengira kalau ia sama sekali tidak marah mendengar tawaranku itu. Ia hanya menatap lantai rumahnya sebentar, terdiam, lalu mengalihkan tatap kosongnya ke dinding yang catnya mengelupas. Apa jadinya kalau tawaran yang sama kulayangkan ke teman premanku di pasar. Bisa-bisa aku dibuangnya ke kali terdekat.

Kenyataan bahwa Juragan Owoh pernah memiliki kucing kesayangan melunakkan kemarahannya pada Tako dan membukakan jalan padaku untuk berbagi dongeng dengannya.

“Hari ini aku tak bisa jualan. Ya sudah, terserah kamu saja kalau mau cerita! Apa saja, yang penting pening di kepalaku reda!” ujarnya sambil melempar kipas satenya ke meja.

Sejak hari itu, tiap sore usai warung tutup, aku  mampir ke warung Juragan Owoh untuk mendongeng. Aku bercerita tentang Pei, Juna dan Man yang kuganti namanya dan kutambahkurangi kisahnya di sana sini. Bini Juna yang janda itu tentu tak pernah memergoki suaminya nekat mencolek pantat janda lain di pasar hingga akhirnya memviralkannya di sosial media. Juga Man yang gemar melamun di pinggir sungai bertemu ikan duyung berambut panjang yang ternyata laki-laki. Belum lagi Pei yang berak di WC yang sejatinya dibangun untuk tempat syuting dan kemudian ia ditawari menjadi aktor karena aksi beraknya yang natural itu. Ia tak mengatakan suka atau tidak dengan kisahku. Yang pasti tiap sore pintu selalu terbuka untukku dan Tako. Segelas air putih selalu tersedia di meja untukku.

Tiap kali mendengar kisahku mulutnya senantiasa terbuka. Apapun yang kukatakan membuatnya bergumam ‘oh’ yang tak pernah berakhir sebab mulutnya hanya tertutup waktu cerita selesai. Sebenarnya aku tak tahan dengan aroma yang menguar dari mulutnya. Tapi aku cukup tahu diri untuk tidak mempersulit keadaanku yang sudah tak menentu ini. Sepulang dari warung sate aku kerap berjumpa teman-teman premanku di pos kamling yang terbengkalai. Pertanyaan utama yang selalu dilontarkan padaku adalah,”Ngowoh lagi?” 

*

Hingga akhirnya rentetan peristiwa itu datang. Belum genap seminggu aku bertandang ke rumah Juragan Owoh, perubahan demi perubahan dengan cepat terjadi. Rumah warung yang awalnya kurang lebih lima kali enam meter persegi itu berubah kerangka besi yang sedianya menopang bangunan seluas 300 meter persegi. Bagian depan akan tetap menjadi tempat makan tapi bukan lagi kelasnya warung. Anak Juragan satu-satunya yang awalnya kabur karena merasa bersalah tiba-tiba pulang dan selang dua hari kemudian diusir ayahnya yang memintanya membawa semua barang-barangnya karena hanya akan mengotori rumahnya yang baru saja.

 Apalah arti rumah baru tanpa penghuni yang memadai. Juragan Owoh ternyata cukup piawai dalam mencari pendamping baru. Ia benar-benar berniat memperbarui seluruh kehidupannya. Istri baru, asisten pribadi baru, mobil baru, dan banyak hal baru lainnya yang tak bisa disebutkan satu per satu. Hanya aku dan Tako yang tak ubahnya monumen yang dipertahankan olehnya. Ia meyakini perubahan hidupnya disebabkan oleh kehadiranku dan Tako. Aku tak ingin tahu bagaimana ia bisa meyakini hal itu. Hape baru dan jaminan makan sehari tiga kali serta tempat tinggal gratis yang diberikannya untukku cukup membutakan keingintahuanku.

“Kau dan Tako sangat berjasa untukku. Aku akan membantumu mencarikan istri dan rumah baru. Tenang saja,” ujarnya suatu hari.

Tentu aku tak menolak rumah baru. Tapi istri baru? Bagaimana perasaan Tako nantinya? Akhirnya aku memutuskan untuk mengatakan yang sesungguhnya pada Juragan Owoh tentang Tako. Bahwa Tako dulunya adalah Tesih, istriku yang ada tahi lalat di lengan kanannya. Tak cukup hanya menjelaskan, aku juga menunjukkan tahi lalat di lengan kanan Tako yang mungkin selama ini luput dari perhatiannya.

“Jadi begitu Juragan…rumah baru saja, ya, tidak usah istri baru…”

*

Aku mengerti beberapa orang mengakhiri sebuah kisah dengan kematian. Satu hal yang sesungguhnya aku hindari. Karenanya, kematian Juragan Owoh karena serangan jantung mendadak sesaat setelah kuceritakan bahwa Tako adalah Tesih istriku, bukanlah akhir dari sebuah kisah. Ia adalah awal perjalanan lain kisahku yang tak lepas dari kehidupan preman yang kali ini merangkap pembunuh bayaran.

“Nyawa mesti dibayar nyawa,” ujar anak tunggal Juragan Owoh yang sesungguhnya telah diusir ayahnya. Hidupnya yang kian terhimpit memaksanya menawarkan jasa pada keluarga baru Juragan Owoh untuk mengejar dan menangkapku dengan imbalan sejumlah uang. Dengan caranya sendiri ia berhasil meyakinkan banyak orang bahwa aku adalah paranormal kejam yang mengambil keuntungan sesaat dari tiap pelangganku.

*

Lalu langkah kaki yang menimbulkan kecipak air kian jelas mendekat.

Hatiku lega tiap mengingat kalau Tako telah kutitipkan pada tiga orang sahabatku.

Biar aku sendiri yang menghadapi mereka.

“Tako, doakan aku…”

***

Jakarta, akhir Februari 2020

Dipersembahkan untuk seluruh pencinta kucing dimanapun berada

Penulis: Nastiti Hanafi

Lahir pada Mei 1975. Alumnus Universitas Diponegoro, yang pernah berkarier sebagai manajer di Shipping Company ini menekuni dunia kepenulisan kreatif sejak 2012. Karya-karyanya telah tersiar di sejumlah media nasional seperti harian Media Indonesia, majalah MAJAS dan lain-lain. Pada 2013, novelnya (Bukan) Salah Waktu terpilih sebagai pemenang unggulan dalam Lomba Novel Wanita dalam Cerita Bentang Pustaka, dan diterbitkan oleh lembaga penerbitan yang sama. Selain menulis fiksi (cerpen dan novel), Nastiti yang pernah bermukim di Adelaide Australia (2002-2003) ini juga aktif di sejumlah komunitas pembaca novel-novel asing dan menyiarkan esai kritik buku (book review) dan kolom pengembangan kepribadian di berbagai platform digital. Bermukim di Jakarta. Dapat disapa melalui akun twitter @nastiti_ds maupun Instagram Nastiti Hanafi.

Tinggalkan komentar