Jurnal Instagram Langsung (3)

Selain mengisi siaran langsung dengan obrolan seputar buku, saya juga mengundang teman, pakar, narasumber, atau apapun itu namanya untuk berbagi. Dengan keyakinan siapa-tau-ada-yang-membutuhkan, saya mengundang beberapa orang yang sepertinya sudah terbiasa bicara di depan publik untuk membagikan sebagian kisah ataupun keahliannya. 

Untuk obrolan ini saya memilih tema yang kelihatannya cukup viral. Minggu pertama saya isi dengan tema seputar literasi dan masker etnik. Literasi sebenarnya termasuk jenis obrolan usang yang tak habis-habis dibicarakan. Akan tetapi, saya senang saat itu mendapat narasumber yang terhitung pakar dibidangnya. Pertama adalah seorang senior di bidang literasi yang mendedikasikan waktu pensiunnya untuk membangun citra majalah sastra, yang kedua adalah penulis dan sastrawan yang sedang menjajaki bentuk baru literasi di era digital. Mengikuti saran teman untuk memanfaatkan waktu akhir minggu, saya merencanakan siaran 3x seminggu. Oleh karenanya, setelah obrolan literasi, saya rasa ada baiknya menambah/menyisipkan tema lain. Saya memilih masker etnik, yang waktu itu rasanya menjadi hits oleh 2 sebab: untuk kesehatan (sebagai bagian dari anjuran pemerintah selama pandemi) dan gaya hidup. Masker etnik yang saya angkat bercorak motif budaya Kalimantan Timur. Teman lama yang berprofesi sebagai desainer ini telah cukup lama malang melintang mengangkat budaya Kalimantan Timur di setiap desainnya. Mulai dari pakaian hingga koper. 

Minggu-minggu berikutnya, tema yang diusung oleh hestek obrolan seru berganti-ganti antara literasi, media sosial, olahraga, dan karya seni. Semuanya bisa dilihat di instagram tv saya (Nastiti Hanafi). Saya tak akan membicarakan satu per satu di sini karena akan mengurangi keasyikan siaran itu sendiri.

Merasa sudah terlatih menghadapi kendala selama membawakan bongkar lemari buku ternyata tak lantas membuat saya terhindar dari tantangan tersendiri yang terjadi selama ngobrol seru. Sinyal yang tak bersahabat masih menjadi isu utama. Saat sinyal saya aman, sinyal tamu undangan sedang tidak bersahabat. Saya tak mungkin menyerah. Beberapa teman saya mintai pendapat bagaimana sebaiknya mengatur acara serupa agar masalah sinyal tak terlalu mengganggu. Setelah mendapat masukan dari sana sini keadaan membaik, walaupun sepertinya dalam beberapa hal, sinyal adalah urusan Tuhan semata. Saya dan siapapun yang saya undang tak berhak campur tangan. Sinyal yang terganggu tak hanya menyebabkan gambar menjadi buram atau suara datang dan pergi. Ia juga bisa menyebabkan suara salah satu dari kami seperti dipantulkan sehingga gemanya sangat mengganggu telinga. Tapi lagi-lagi hanya tangan Tuhan yang mampu membenahinya. Bersabar dan berdoa adalah kunci.

Di luar tantangan sinyal, di bulan pertama itu saya merasakan keajaiban yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Karena memang sebelumnya belum pernah ada pandemi dan belum pernah juga membuat siaran langsung. Okesip.

Keajaiban yang saya maksud sebenarnya biasa saja (gimana, sih). Haha. Begini, saya hanya tak menyangka siaran semacam ini memberi dampak cukup besar pada saya, pada lingkungan (teman-teman yang menonton) dan pada narasumber. Jadi, setelah lebih dari 3 bulan kami terkurung isolasi, ada keadaan yang mungkin tak biasa dan tak bisa dijelaskan begitu saja menyangkut kejiwaan kami. Tentu tak semua merasakan hal yang sama. Sensasi yang sama maksudnya. Tapi yang pasti there is a hole or missing a thing or anything that happened as a result of the disconnection yang kemudian mampu dikurangi atau dihadapi dengan ngobrol melalui layar seperti ini. Saya menghadapi kenyataan di depan mata bahwa manusia adalah sebenar-benarnya makhluk sosial yang tak mampu menghilangkan keinginan untuk berjumpa dengan manusia lain. 

Saya tidak sedang bermaksud menyampaikan bahwa mereka bahagia bertemu saya secara khusus. Saya hanya memfasilitasi saja. Pada akhirnya, seiring dengan bergulirnya waktu, sejak poster ngobrol saya bagikan, beragam reaksi mereka peroleh dari lingkungan mereka. Reaksi awal sebagaimana disampaikan sendiri oleh para narasumber ini adalah kekaguman dan atau ajakan mengadakan kegiatan yang sama dari lingkaran pertemanan mereka. Benih kebahagiaan di tengah isolasi mulai tampak. Kebahagiaan yang disulut dari ajakan ngobrol ini kemudian berkembang menjadi ajakan reuni komunitas, pertemuan untuk meningkatkan kegiatan melalui diskusi, atau sekedar mengingatkan bahwa mereka (para narasumber dengan lingkaran komunitasnya) pernah memiliki masa di mana kegiatan yang mereka rintis meraih kegemilangannya sendiri. Hal seperti ini menciptakan energi yang tak saya perhitungkan sama sekali di awal.

Sebagian tema yang saya angkat adalah kegiatan baru para narasumber di masa pandemi. Itu sebabnya mungkin beberapa media massa pun kemudian mengangkat tema tersebut untuk mengisi kolom beritanya. Kalau bagian yang ini saya senangnya bukan main. 

Sifat manusia sebagai makhluk sosial dengan segala keresahannya menghadapi perubahan benar-benar diuji di 4 bulan pertama pandemi ini. 

Tidak ada yang tahu kapan dan bagaimana pandemi akan berakhir. Namun tak seorangpun yang saya ajak bicara melontarkan pesimisme. Lepas dari kegamangan yang mereka hadapi, manusia mungkin sejatinya diciptakan untuk survive dalam menghadapi rintangan apapun itu.  

Jakarta, 23 November 2020

Penulis: Nastiti Hanafi

Lahir pada Mei 1975. Alumnus Universitas Diponegoro, yang pernah berkarier sebagai manajer di Shipping Company ini menekuni dunia kepenulisan kreatif sejak 2012. Karya-karyanya telah tersiar di sejumlah media nasional seperti harian Media Indonesia, majalah MAJAS dan lain-lain. Pada 2013, novelnya (Bukan) Salah Waktu terpilih sebagai pemenang unggulan dalam Lomba Novel Wanita dalam Cerita Bentang Pustaka, dan diterbitkan oleh lembaga penerbitan yang sama. Selain menulis fiksi (cerpen dan novel), Nastiti yang pernah bermukim di Adelaide Australia (2002-2003) ini juga aktif di sejumlah komunitas pembaca novel-novel asing dan menyiarkan esai kritik buku (book review) dan kolom pengembangan kepribadian di berbagai platform digital. Bermukim di Jakarta. Dapat disapa melalui akun twitter @nastiti_ds maupun Instagram Nastiti Hanafi.

Tinggalkan komentar