Jurnal Instagram Langsung (4)

Sebelum memasuki bulan kedua, tepatnya di minggu terakhir Juli, saya mulai dihinggapi rasa bosan. Bosan memulai dan merencanakan siaran langsung ini. Aneh, sebab belum genap sebulan sebenarnya acara ini berlangsung. Usut punya usut, saya sebenarnya hanya sedang merasakan perubahan di jadwal kegiatan harian saya yang mau tidak mau sedikit banyak tersita oleh kegiatan menghubungi dan meminta konfirmasi waktu para narasumber, membicarakan tema ngobrol dan mempersiapkan flyer. Tiap aktivitas tadi tentu kalau dihitung satu per satu tak memakan waktu banyak. Kami sama-sama punya alat komunikasi yang praktis. Pembuatan flyer juga banyak dibantu oleh aplikasi. Tiap mengingatnya saya heran sendiri bagaimana waktu bisa termakan begitu saja untuk aktivitas semacam itu. 

Beberapa hal bisa saja terjadi tanpa atau dengan saya sadari yang menyebabkan aktivitas tadi tak sesederhana yang saya pikirkan sebelumnya:

Pertama, siaran ini adalah kegiatan baru yang saya belum terbiasa sebelumnya. Meminta orang lain membawakan sebuah tema yang menurut saya penting bisa saja sebenarnya tidak demikian menurut narasumber. Saat mendiskusikannya tentu memakan waktu dan tenaga yang tidak saya perhitungkan sebelumnya. Tapi terus terang, hal itu menyenangkan sekali sebab sebagian besar dari mereka adalah teman lama yang sekali waktu saja berkomentar di laman medsos  dan kalau bukan karena siaran ini mungkin sampai sekarang tidak bertegur sapa secara langsung.

Kedua, pembuatan poster/flyer dan apapun itu untuk mempromosikan siaran ini juga terasa memakan waktu. Saya menggunakan beberapa aplikasi yang sebelumnya hanya sekali waktu saja digunakan. Ibarat pertemanan, kami belum saling mengenal dengan baik. Ditambah lagi idealisme saya yang ingin menciptakan flyer dengan tampilan khusus yang berbeda dengan kebanyakan membuat penyelesaiannya tak secepat yang saya rencanakan.  

Ketiga, setelah promosi siaran tersebar kemana-mana, tak mungkin bagi saya untuk tidak meladeni segala macam komentar yang disampaikan baik melalui kolom komen maupun kotak pesan langsung. Komentar yang masuk jauh lebih banyak yang menyenangkan ketimbang yang tidak. Terlebih, saat ada teman yang kemudian merekomendasikan seseorang atau sebuah topik yang berhubungan dengan yang ingin saya angkat di bulan tertentu. Interaksi intensif seperti ini saking menyenangkannya seringkali membuat saya lupa waktu. Ya, lagi-lagi kendali diri adalah kunci utama.

Pemberdayaan Produk Lokal saya jadikan tema bulan kedua. Selama sebulan mengobrol dengan beberapa teman yang menurut saya mampu membagikan kebahagiaan dan energi positif ke lingkungannya mengingatkan saya bahwa sepertinya siaran langsung ini bisa ditingkatkan menjadi acara dengan tema yang lebih sempit dan berganti-ganti tiap bulannya. Saya yakin tiap tema mampu mendatangkan teman-teman dengan energinya masing-masing yang senantiasa mampu memberikan optimismenya tersendiri. 

Di tengah pandemi yang menyebabkan kegiatan sosial sangat dibatasi, segala bentuk konsumsi dengan sendirinya akan berkurang. Meski demikian saya tak henti-henti melihat sekian banyak bentuk usaha baru tumbuh dan berkembang dengan caranya sendiri. Seorang teman yang berada di luar Jawa saya lihat berjuang membangkitkan perekonomian sebuah wilayah penghasil kerajinan dari tanaman purun dengan hasil yang memukau. Satu hal yang sangat tampak dari geliat masyarakat selama pandemi adalah meningkatnya perhatian satu pihak ke pihak yang lain dengan cara bahu membahu alias saling menopang kehidupan satu sama lain. Di bulan kedua itu, semua narasumber yang akan saya ajak mengobrol selama sebulan penuh telah menyatakan kesediaannya di awal bulan. Terus terang saya terharu. Mereka berbicara atas nama masyarakat dan produk yang dihasilkan di Kalimantan, Sumatera, dan Jawa. Mulai dari komoditi fashion, budaya daerah, hingga tanaman coklat.

Selama sebulan saya menikmati perjalanan berkeliling dan berkenalan dengan jenis usaha dan masyarakat setempat di tiap wilayah melalui cara pandang, analisa dan optimisme para narasumber. Kisah-kisah yang dibagikan begitu khusus, istimewa dan seringkali sulit dicerna oleh saya yang sejak kecil tinggal di Pulau Jawa dan sekian lama menjadi penduduk Jakarta. Kalau saja tidak dibatasi waktu, ingin sekali rasanya mengobrol lebih lama lagi dengan mereka yang mendedikasikan hidupnya untuk kemajuan masyarakat di luar Jawa.

Tidak sedikit tentu pendapat teman yang saya dengar sejauh ini tentang betapa istimewanya hidup di Pulau Jawa. Dan untuk membuktikannya saya belum mendapat pengalaman yang cukup untuk merasakan ketimpangan itu. Di luar upaya para narasumber yang harus saya acungi jempol, beragam tantangan tentu mereka hadapi. Tantangan yang kerap saya dengar adalah birokrasi, letak geografis dan tingkat pendidikan masyarakat setempat.

“So many things to understand, so little time to cover up the subjects” adalah ungkapan yang kiranya mewakili instagram langsung saya di bulan kedua.

Jakarta, 25 November 2020

Penulis: Nastiti Hanafi

Lahir pada Mei 1975. Alumnus Universitas Diponegoro, yang pernah berkarier sebagai manajer di Shipping Company ini menekuni dunia kepenulisan kreatif sejak 2012. Karya-karyanya telah tersiar di sejumlah media nasional seperti harian Media Indonesia, majalah MAJAS dan lain-lain. Pada 2013, novelnya (Bukan) Salah Waktu terpilih sebagai pemenang unggulan dalam Lomba Novel Wanita dalam Cerita Bentang Pustaka, dan diterbitkan oleh lembaga penerbitan yang sama. Selain menulis fiksi (cerpen dan novel), Nastiti yang pernah bermukim di Adelaide Australia (2002-2003) ini juga aktif di sejumlah komunitas pembaca novel-novel asing dan menyiarkan esai kritik buku (book review) dan kolom pengembangan kepribadian di berbagai platform digital. Bermukim di Jakarta. Dapat disapa melalui akun twitter @nastiti_ds maupun Instagram Nastiti Hanafi.

Tinggalkan komentar