Jurnal Instagram Langsung (5)

Tiap kali membaca kabar seorang teman selesai menulis sebuah buku atau naskah yang  diterbitkan baik secara daring maupun luring, saya selalu merasa bahwa tak ada waktu yang tepat untuk menyelesaikan naskah saya yang terkatung-katung selain se-ka-rang. Dan itu sudah terjadi sejak beberapa tahun yang lalu. Saya mengerti sekaligus tidak mengerti mengapa keinginan itu selalu datang saat saya sedang aktif melakukan kegiatan selain menulis. Mungkin semacam perasaan bersalah pada beberapa naskah yang hingga kini menanti nasibnya di tangan saya.

Untuk mengembalikan semangat menulis secara optimal, saya memutuskan mengundang beberapa pengarang untuk tagar bulan September (bulan ketiga) instagram langsung. Saya memberinya nama Bincang Buku. 

Awalnya saya membuat daftar berisi nama 5 orang pengarang yang kemudian menyusut menjadi 3 karena 2 yang terakhir bukunya belum selesai saya baca. Walaupun saya bisa menggantikan buku terakhir dengan yang lain, tapi niat itu urung karena kesibukan lain yang tidak dapat ditinggalkan. Karenanya, minggu terakhir September dikosongkan. 

Walaupun membincang buku secara intensif dengan pengarangnya berhasil menyalakan semangat menulis, ternyata tidak serta merta menciptakan waktu khusus yang cukup dan ide kreatif yang saya butuhkan. Namun demikian semangat para pengarang dan kisah-kisah mereka terbukti membuat saya berpikir akan banyak hal. Beberapa hal penting saya tandai selama bulan ketiga tersebut:

Pertama, berkembangnya teknologi digital mendorong perubahan di dunia menulis. Perubahan itu sebenarnya tidak menuntut proses yang jauh berbeda. Hanya wadah prosesnya saja yang tak lagi sama. Perbedaan itu mendorong dunia menulis ke ranah kreatif yang lebih luas. Yang lebih menyenangkan lagi, dunia aplikasi digital memungkinkan penulis untuk terlibat secara langsung pada proses publikasinya dari hulu hingga hilir. Membuka kemungkinan pihak yang awalnya hanya mengisi konten (penulis) juga bertindak selaku pelaku bisnis (penerbit dan marketing).

Kedua, dengan berkembangnya dunia menulis kreatif secara digital, apresiasi terhadapnya pun turut mengalami perubahan. Pola pikir kritis terhadap tulisan kreatif (terutama yang berupa buku) yang awalnya dituangkan dalam bentuk kritik yang mengacu pada pakem dunia sastra mengalami pergeseran bentuk seiring dengan maraknya dunia visual yang tersedia tiap saat dalam genggaman tangan. 

Ketiga, pandemi memberi dampak yang kuat pada berbagai sektor di kehidupan yang tentu kemudian berimbas tak hanya pada tampilan teks dan bentuk tetapi juga pada proses menggali inspirasi menulis itu sendiri. Riset yang awalnya memungkinkan dilakukan di mana saja, karena terbatasnya segala bentuk aktivitas, akhirnya harus bertransformasi menjadi bentuk lain. Catatan berupa detail kejadian, tampilan bentuk, respons kasat mata (dalam bentuk foto maupun tulisan) yang awalnya lebih mudah ditambah/kurangi seiring perjumpaan dan perpisahan langsung selama riset, kini menjadi bekal tersendiri untuk dipahami maknanya secara lebih mendalam selama tubuh ini tak mampu ke mana-mana. Unggahan di akun pribadi yang tenggelam dalam riuhnya berita harian, catatan di sobekan kertas yang terselip di antara tumpukan buku, dan berbagai rekaman ingatan yang tercecer perlahan akan menampakkan diri seiring dengan kebutuhan para penulis melengkapi riset serta mencari ide selama di rumah saja. Kegiatan serupa akan berlanjut dengan memilah dan memilih file yang benar-benar diperlukan dan yang tidak. Saya sendiri melihat fenomena semacam ini seperti kegiatan detoksifikasi serta mengatur titik fokus dengan lebih baik. 

Jakarta, 12 Desember 2020

Penulis: Nastiti Hanafi

Lahir pada Mei 1975. Alumnus Universitas Diponegoro, yang pernah berkarier sebagai manajer di Shipping Company ini menekuni dunia kepenulisan kreatif sejak 2012. Karya-karyanya telah tersiar di sejumlah media nasional seperti harian Media Indonesia, majalah MAJAS dan lain-lain. Pada 2013, novelnya (Bukan) Salah Waktu terpilih sebagai pemenang unggulan dalam Lomba Novel Wanita dalam Cerita Bentang Pustaka, dan diterbitkan oleh lembaga penerbitan yang sama. Selain menulis fiksi (cerpen dan novel), Nastiti yang pernah bermukim di Adelaide Australia (2002-2003) ini juga aktif di sejumlah komunitas pembaca novel-novel asing dan menyiarkan esai kritik buku (book review) dan kolom pengembangan kepribadian di berbagai platform digital. Bermukim di Jakarta. Dapat disapa melalui akun twitter @nastiti_ds maupun Instagram Nastiti Hanafi.

Tinggalkan komentar