Mudik, Sebuah Pilihan

Sebuah status teman di laman facebook yang menyoal tentang kebiasaan masyarakat sehubungan dengan Mudik belum lama ini mengingatkan saya untuk menulis perihal yang sudah lama saya simpan di pikiran saya sendiri. Terutama sejak anjuran untuk “di rumah saja” sebagai wujud perhatian-pemerintah-pada-kesehatan-warganya (?) mulai didengungkan.

Kiranya boleh menarik mundur sedikit renungan ini sebagai pendahuluan, saya ingin mengenang masa awal pandemi di mana saya mulai belajar banyak hal baru mulai dari membuat roti, berlatih menjadi pemandu acara kecil-kecilan, rutin menulis jurnal harian, pendatang baru dunia yoga, dan menambah secara serabutan ilmu mengembangkan ragi alami untuk membuat roti hingga akhirnya saya kewalahan memenuhi pesanan pelanggan. Jangankan membuat roti dengan ragi alami, dengan bahan paling dasar yang dipakai pedagang roti keliling pun tak pernah terbayangkan oleh saya sebelumnya. Untuk itu saya ingin berterima kasih pada keluarga kecil saya yang dengan lapang dada telah memberikan kesempatan belajar hal-hal baru tersebut, dan terutamanya kenyataan bahwa selama ini mereka membebaskan saya untuk tidak bisa melakukan itu semua (di tengah stigma bahwa seorang ibu harus mampu memenuhi kebutuhan perut anggota keluarganya) sebagai bagian dari kebebasan memilih. Dibebaskan dari kewajiban menekuni sesuatu ternyata menumbuhkan keinginan yang dilandasi kejernihan berpikir. Bukan kewajiban dengan imbalan, bukan pula intimidasi yang menakutkan.

Lebaran 2021 atau Hari Raya Idul Fitri 1442 Hijriyah adalah Lebaran kedua kami tanpa mudik. Seminggu yang di tahun-tahun sebelumnya penuh keriuhan persiapan mudik hingga kembali ke ibukota kali ini kami lalui dengan berdiam di rumah, mengerjakan rutinitas harian ditambah membuat kue lebaran. Adakah yang hilang dengan berlebaran di rumah saja? Ada. Cukup banyak jumlahnya. Mulai dari hilangnya tatap muka dan pelukan hangat sanak saudara, basa basi rutin lebaran berupa pertanyaan yang lebih banyak menyoal tampilan fisik dan segala hal yang berhubungan dengan materi, hingga obrolan ringan tentang apa saja yang dilalui setahun lalu atau bahkan beberapa tahun sebelumnya. Khusus yang terakhir, sebagian mungkin menikmati obrolan ngalor ngidul tersebut karena lebih banyak kadar bercanda dan objektivitas dalam berpendapat. Namun tak sedikit yang menjadikan ajang tersebut penghakiman sepihak hingga akhirnya sang superior terpuaskan egonya karena merasa telah menaklukkan sang inferior. Oya, itu baru yang sifatnya perorangan atau pribadi. Kita belum bicara tentang merosotnya jumlah polutan di sepanjang jalur mudik serta menurunnya angka kecelakaan lalu lintas (yang sayangnya tak pernah diangkat menjadi berita nasional), juga meningkatnya kesadaran masyarakat akan lingkungan hidup. Apapun itu, dua tahun belakangan ini mereka hilang ditelan berita berupa angka korban pandemi dan seluk beluk pembatasan kegiatan.

Enam atau tujuh tahun yang lalu, di sebuah acara pengajian menjelang berbuka puasa yang disiarkan salah satu stasiun televisi pada bulan Ramadhan mengundang seorang pembicara untuk mengobrol perihal kebiasaan mudik. Disampaikan oleh sang pembicara bahwasanya kebiasaan yang berurat berakar ini telah mengalami perubahan. Kalimat tersebut mengundang saya untuk mendengarkan dengan lebih cermat arah pembicaraan narasumber. Beliau melanjutkan bahwa kecenderungan ini sangat wajar terjadi. Diantara penyebabnya adalah jumlah warga daerah yang menikah dengan warga asli ibukota dan kemudian memilih menetap di ibukota hingga mudik akhirnya menjadi pilihan. Bukan lagi kewajiban yang tidak dipandang bulu resikonya. Itupun bila kita kesampingkan kenyataan bahwa tabungan setahun atau bahkan lebih seorang pekerja dengan gaji UMR lenyap tak bersisa bahkan tak jarang harus berhutang demi memenuhi kebutuhan yang satu ini. Mudik tak hanya menjadi kebiasaan tapi menjelma prestise atau kebanggaan umum semacam status kepegawaian yang siap dipertontonkan pada siapapun di kampung halaman nanti. 

Bahwa kemudian sejumlah survei kecil-kecilan tentang mudik di masa pandemi ini menghadirkan angka dimana yang tidak ingin mudik lebih besar ketimbang yang ingin, rasanya hal tersebut bukanlah sekedar keinginan terbebas dari penularan virus saja tapi merupakan riak kecil dari gelombang besar kegelisahan yang jauh sebelum pandemi sudah ada namun sulit diungkap. Penyebabnya tentu tidak asing lagi yaitu bahwa perlawanan terhadap kebiasaan yang terlanjur terstruktur serta terjalin kuat dengan ritual keagamaan, hingga kini, bisa dibilang perjalanan panjang yang tak berujung.

Saya pribadi belum pernah mengadakan survei tentang kebiasaan mudik ini. Saya hanya beberapa kali melihat meme atau menonton video parodi kegiatan mudik lebaran yang menampilkan secara satire apa yang sesungguhnya terjadi di balik keindahan baju baru, puisi permintaan maaf, dan pembagian rezeki dari orangtua pada anak-anak.

Bila pandemi ini sanggup membuka mata banyak orang bahwa rutinitas yang ada sebelumnya mampu diubah, bahwa kemungkinan besar kita akan dipaksa meruntuhkan tembok ego yang selama ini kita bangun demi masa depan yang lebih baik, mungkinkah hal itu juga terjadi pada budaya Mudik? Mampukah kita melihat eksploitasi yang terjadi di minggu terakhir Ramadhan ini secara lebih rasional? Mampukah kita mengesampingkan laku melankolia penuh drama yang kian menjauhkan kita dari makna Idul Fitri itu sendiri? 

Jakarta, 16 Mei 2021

Jurnal Instagram Langsung (6)

Setelah dua kali pembatasan kegiatan diberlakukan di Jakarta, akhirnya tanpa pemberitahuan resmi, perlahan beberapa pusat kegiatan mulai dibuka pada akhir September. Pelonggaran tersebut, meski di beberapa titik di pusat kota masih diawasi dengan ketat, sepertinya mampu mengendurkan syaraf sebagian masyarakat yang telah selama lebih dari 3 bulan tegang dan waswas oleh keadaan.  

Statistik jumlah penderita; yang sembuh, yang tidak, serta korban nyawa tenaga medis masih mengisi berita utama media massa. Namun demikian, masyarakat mulai memberanikan diri berkompromi dengan keadaan berdasarkan apa yang dialaminya sejak pertengahan Maret hingga akhir September. Pendapat pakar, kampanye kesehatan, penerapan protokol kesehatan yang dari hari ke hari makin realistis dan mudah diterapkan menumbuhkan optimisme tersendiri. Selain tentu kenyataan bahwa kebutuhan sehari-hari sebagian penduduk yang hilang karena pembatasan kegiatan tak mungkin dibiarkan terus-menerus.

Sayangnya, pandemi tak pandang bulu soal kondisi ekonomi dan rasa bosan yang terus diupayakan untuk dikompromikan selama pelonggaran. Akibatnya, klaster-klaster baru terbentuk. Klaster di tempat kerja menjadi sorotan utama. 

Pada bulan Oktober saya mengangkat tema Budaya Kerja dalam rangka mencari tahu lebih banyak tentang apa saja yang berubah di tempat kerja selama pandemi. Apakah pemindahan pertemuan langsung ke zoom dan google meeting berlangsung efektif, seperti apa penyesuaian beban pekerjaan saat hampir seluruhnya dikerjakan dari rumah, serta prediksi situasi kerja pasca pandemi adalah hal-hal yang saya minta para narasumber berpendapat tentangnya.

Ragam latar belakang dan cara kerja masing-masing instansi maupun perusahaan ternyata membawa budaya kerja yang khas dan tak bisa disamakan satu dengan lainnya. Perusahaan yang sejak awal telah berbasis online tentu tak direpotkan dengan penyesuaian ini. Lain halnya dengan instansi pemerintah maupun perusahaan skala besar yang dalam beberapa hal mempertahankan metode kerja manual demi menyerap tenaga kerja lebih banyak.

Di bulan ini pula akhirnya diskusi dengan dua orang pengarang novel sejarah Pangeran dari Timur berlangsung. Sudah cukup lama sebenarnya saya tidak membaca novel berlatar sejarah Indonesia. Oleh karenanya, pertemuan zoom dengan dua orang pengarang senior tanah air itu tidak saya sia-siakan. Saya bertanya apa saja yang bisa jadi awalnya membuat mereka berdua bersemangat menjawab hingga kemudian merasakan kejanggalan pertanyaan saya karena saya terlampau bersemangat menguliti tiap fakta dan kejadian. Terus terang saya tak pernah merasakan ketertarikan khusus dengan Pelajaran Sejarah semasa sekolah. Tapi Sejarah yang saya kenal lewat novel jauh berbeda dengan what so called Pelajaran Sejarah. Dalam novel, emosi pembaca terlibat secara khusus hingga rasa memiliki kemudian tercipta antara tokoh dalam cerita dengan pembaca. Hal itu tentu menimbulkan efek yang sulit dijelaskan. Ada kalanya pembaca ikut berbahagia atas sebuah kejadian yang menimpa tokoh dalam cerita. Pun sebaliknya. Namun yang tak kalah menarik dan lebih sering memantik ajang diskusi adalah bagaimana pembaca kemudian merangkai logika yang ada dalam cerita dan membandingkannya dengan dogma yang selama ini ditanamkan oleh buku-buku pelajaran sekolah atau yang biasa disebut dengan “versi lain” dari sejarah itu sendiri.

Seingat saya, sebelum memutuskan mengakhiri Instagram Langsung untuk tahun 2020, saya berkeinginan melanjutkannya pada Januari 2021. Tema yang ingin saya usung saat itu adalah tentang isu lingkungan hidup. Hanya saja, hingga hari ini keinginan itu belum benar-benar terwujud. Saya sampaikan “belum benar-benar” karena di bulan Maret saya berkesempatan mengobrol dengan anak muda Kepulauan Mentawai yang memiliki visi besar akan daerahnya. Waktu itu, kami menyinggung sedikit tentang pelestarian lingkungan hidup.

(Khusus Jurnal ke-6 ini sebagian saya tulis akhir tahun 2020, sementara separuh akhir saya tuntaskan Juli 2021)

Jakarta, 31 Juli 2021 

Jurnal Instagram Langsung (5)

Tiap kali membaca kabar seorang teman selesai menulis sebuah buku atau naskah yang  diterbitkan baik secara daring maupun luring, saya selalu merasa bahwa tak ada waktu yang tepat untuk menyelesaikan naskah saya yang terkatung-katung selain se-ka-rang. Dan itu sudah terjadi sejak beberapa tahun yang lalu. Saya mengerti sekaligus tidak mengerti mengapa keinginan itu selalu datang saat saya sedang aktif melakukan kegiatan selain menulis. Mungkin semacam perasaan bersalah pada beberapa naskah yang hingga kini menanti nasibnya di tangan saya.

Untuk mengembalikan semangat menulis secara optimal, saya memutuskan mengundang beberapa pengarang untuk tagar bulan September (bulan ketiga) instagram langsung. Saya memberinya nama Bincang Buku. 

Awalnya saya membuat daftar berisi nama 5 orang pengarang yang kemudian menyusut menjadi 3 karena 2 yang terakhir bukunya belum selesai saya baca. Walaupun saya bisa menggantikan buku terakhir dengan yang lain, tapi niat itu urung karena kesibukan lain yang tidak dapat ditinggalkan. Karenanya, minggu terakhir September dikosongkan. 

Walaupun membincang buku secara intensif dengan pengarangnya berhasil menyalakan semangat menulis, ternyata tidak serta merta menciptakan waktu khusus yang cukup dan ide kreatif yang saya butuhkan. Namun demikian semangat para pengarang dan kisah-kisah mereka terbukti membuat saya berpikir akan banyak hal. Beberapa hal penting saya tandai selama bulan ketiga tersebut:

Pertama, berkembangnya teknologi digital mendorong perubahan di dunia menulis. Perubahan itu sebenarnya tidak menuntut proses yang jauh berbeda. Hanya wadah prosesnya saja yang tak lagi sama. Perbedaan itu mendorong dunia menulis ke ranah kreatif yang lebih luas. Yang lebih menyenangkan lagi, dunia aplikasi digital memungkinkan penulis untuk terlibat secara langsung pada proses publikasinya dari hulu hingga hilir. Membuka kemungkinan pihak yang awalnya hanya mengisi konten (penulis) juga bertindak selaku pelaku bisnis (penerbit dan marketing).

Kedua, dengan berkembangnya dunia menulis kreatif secara digital, apresiasi terhadapnya pun turut mengalami perubahan. Pola pikir kritis terhadap tulisan kreatif (terutama yang berupa buku) yang awalnya dituangkan dalam bentuk kritik yang mengacu pada pakem dunia sastra mengalami pergeseran bentuk seiring dengan maraknya dunia visual yang tersedia tiap saat dalam genggaman tangan. 

Ketiga, pandemi memberi dampak yang kuat pada berbagai sektor di kehidupan yang tentu kemudian berimbas tak hanya pada tampilan teks dan bentuk tetapi juga pada proses menggali inspirasi menulis itu sendiri. Riset yang awalnya memungkinkan dilakukan di mana saja, karena terbatasnya segala bentuk aktivitas, akhirnya harus bertransformasi menjadi bentuk lain. Catatan berupa detail kejadian, tampilan bentuk, respons kasat mata (dalam bentuk foto maupun tulisan) yang awalnya lebih mudah ditambah/kurangi seiring perjumpaan dan perpisahan langsung selama riset, kini menjadi bekal tersendiri untuk dipahami maknanya secara lebih mendalam selama tubuh ini tak mampu ke mana-mana. Unggahan di akun pribadi yang tenggelam dalam riuhnya berita harian, catatan di sobekan kertas yang terselip di antara tumpukan buku, dan berbagai rekaman ingatan yang tercecer perlahan akan menampakkan diri seiring dengan kebutuhan para penulis melengkapi riset serta mencari ide selama di rumah saja. Kegiatan serupa akan berlanjut dengan memilah dan memilih file yang benar-benar diperlukan dan yang tidak. Saya sendiri melihat fenomena semacam ini seperti kegiatan detoksifikasi serta mengatur titik fokus dengan lebih baik. 

Jakarta, 12 Desember 2020

Jurnal Instagram Langsung (4)

Sebelum memasuki bulan kedua, tepatnya di minggu terakhir Juli, saya mulai dihinggapi rasa bosan. Bosan memulai dan merencanakan siaran langsung ini. Aneh, sebab belum genap sebulan sebenarnya acara ini berlangsung. Usut punya usut, saya sebenarnya hanya sedang merasakan perubahan di jadwal kegiatan harian saya yang mau tidak mau sedikit banyak tersita oleh kegiatan menghubungi dan meminta konfirmasi waktu para narasumber, membicarakan tema ngobrol dan mempersiapkan flyer. Tiap aktivitas tadi tentu kalau dihitung satu per satu tak memakan waktu banyak. Kami sama-sama punya alat komunikasi yang praktis. Pembuatan flyer juga banyak dibantu oleh aplikasi. Tiap mengingatnya saya heran sendiri bagaimana waktu bisa termakan begitu saja untuk aktivitas semacam itu. 

Beberapa hal bisa saja terjadi tanpa atau dengan saya sadari yang menyebabkan aktivitas tadi tak sesederhana yang saya pikirkan sebelumnya:

Pertama, siaran ini adalah kegiatan baru yang saya belum terbiasa sebelumnya. Meminta orang lain membawakan sebuah tema yang menurut saya penting bisa saja sebenarnya tidak demikian menurut narasumber. Saat mendiskusikannya tentu memakan waktu dan tenaga yang tidak saya perhitungkan sebelumnya. Tapi terus terang, hal itu menyenangkan sekali sebab sebagian besar dari mereka adalah teman lama yang sekali waktu saja berkomentar di laman medsos  dan kalau bukan karena siaran ini mungkin sampai sekarang tidak bertegur sapa secara langsung.

Kedua, pembuatan poster/flyer dan apapun itu untuk mempromosikan siaran ini juga terasa memakan waktu. Saya menggunakan beberapa aplikasi yang sebelumnya hanya sekali waktu saja digunakan. Ibarat pertemanan, kami belum saling mengenal dengan baik. Ditambah lagi idealisme saya yang ingin menciptakan flyer dengan tampilan khusus yang berbeda dengan kebanyakan membuat penyelesaiannya tak secepat yang saya rencanakan.  

Ketiga, setelah promosi siaran tersebar kemana-mana, tak mungkin bagi saya untuk tidak meladeni segala macam komentar yang disampaikan baik melalui kolom komen maupun kotak pesan langsung. Komentar yang masuk jauh lebih banyak yang menyenangkan ketimbang yang tidak. Terlebih, saat ada teman yang kemudian merekomendasikan seseorang atau sebuah topik yang berhubungan dengan yang ingin saya angkat di bulan tertentu. Interaksi intensif seperti ini saking menyenangkannya seringkali membuat saya lupa waktu. Ya, lagi-lagi kendali diri adalah kunci utama.

Pemberdayaan Produk Lokal saya jadikan tema bulan kedua. Selama sebulan mengobrol dengan beberapa teman yang menurut saya mampu membagikan kebahagiaan dan energi positif ke lingkungannya mengingatkan saya bahwa sepertinya siaran langsung ini bisa ditingkatkan menjadi acara dengan tema yang lebih sempit dan berganti-ganti tiap bulannya. Saya yakin tiap tema mampu mendatangkan teman-teman dengan energinya masing-masing yang senantiasa mampu memberikan optimismenya tersendiri. 

Di tengah pandemi yang menyebabkan kegiatan sosial sangat dibatasi, segala bentuk konsumsi dengan sendirinya akan berkurang. Meski demikian saya tak henti-henti melihat sekian banyak bentuk usaha baru tumbuh dan berkembang dengan caranya sendiri. Seorang teman yang berada di luar Jawa saya lihat berjuang membangkitkan perekonomian sebuah wilayah penghasil kerajinan dari tanaman purun dengan hasil yang memukau. Satu hal yang sangat tampak dari geliat masyarakat selama pandemi adalah meningkatnya perhatian satu pihak ke pihak yang lain dengan cara bahu membahu alias saling menopang kehidupan satu sama lain. Di bulan kedua itu, semua narasumber yang akan saya ajak mengobrol selama sebulan penuh telah menyatakan kesediaannya di awal bulan. Terus terang saya terharu. Mereka berbicara atas nama masyarakat dan produk yang dihasilkan di Kalimantan, Sumatera, dan Jawa. Mulai dari komoditi fashion, budaya daerah, hingga tanaman coklat.

Selama sebulan saya menikmati perjalanan berkeliling dan berkenalan dengan jenis usaha dan masyarakat setempat di tiap wilayah melalui cara pandang, analisa dan optimisme para narasumber. Kisah-kisah yang dibagikan begitu khusus, istimewa dan seringkali sulit dicerna oleh saya yang sejak kecil tinggal di Pulau Jawa dan sekian lama menjadi penduduk Jakarta. Kalau saja tidak dibatasi waktu, ingin sekali rasanya mengobrol lebih lama lagi dengan mereka yang mendedikasikan hidupnya untuk kemajuan masyarakat di luar Jawa.

Tidak sedikit tentu pendapat teman yang saya dengar sejauh ini tentang betapa istimewanya hidup di Pulau Jawa. Dan untuk membuktikannya saya belum mendapat pengalaman yang cukup untuk merasakan ketimpangan itu. Di luar upaya para narasumber yang harus saya acungi jempol, beragam tantangan tentu mereka hadapi. Tantangan yang kerap saya dengar adalah birokrasi, letak geografis dan tingkat pendidikan masyarakat setempat.

“So many things to understand, so little time to cover up the subjects” adalah ungkapan yang kiranya mewakili instagram langsung saya di bulan kedua.

Jakarta, 25 November 2020

Jurnal Instagram Langsung (3)

Selain mengisi siaran langsung dengan obrolan seputar buku, saya juga mengundang teman, pakar, narasumber, atau apapun itu namanya untuk berbagi. Dengan keyakinan siapa-tau-ada-yang-membutuhkan, saya mengundang beberapa orang yang sepertinya sudah terbiasa bicara di depan publik untuk membagikan sebagian kisah ataupun keahliannya. 

Untuk obrolan ini saya memilih tema yang kelihatannya cukup viral. Minggu pertama saya isi dengan tema seputar literasi dan masker etnik. Literasi sebenarnya termasuk jenis obrolan usang yang tak habis-habis dibicarakan. Akan tetapi, saya senang saat itu mendapat narasumber yang terhitung pakar dibidangnya. Pertama adalah seorang senior di bidang literasi yang mendedikasikan waktu pensiunnya untuk membangun citra majalah sastra, yang kedua adalah penulis dan sastrawan yang sedang menjajaki bentuk baru literasi di era digital. Mengikuti saran teman untuk memanfaatkan waktu akhir minggu, saya merencanakan siaran 3x seminggu. Oleh karenanya, setelah obrolan literasi, saya rasa ada baiknya menambah/menyisipkan tema lain. Saya memilih masker etnik, yang waktu itu rasanya menjadi hits oleh 2 sebab: untuk kesehatan (sebagai bagian dari anjuran pemerintah selama pandemi) dan gaya hidup. Masker etnik yang saya angkat bercorak motif budaya Kalimantan Timur. Teman lama yang berprofesi sebagai desainer ini telah cukup lama malang melintang mengangkat budaya Kalimantan Timur di setiap desainnya. Mulai dari pakaian hingga koper. 

Minggu-minggu berikutnya, tema yang diusung oleh hestek obrolan seru berganti-ganti antara literasi, media sosial, olahraga, dan karya seni. Semuanya bisa dilihat di instagram tv saya (Nastiti Hanafi). Saya tak akan membicarakan satu per satu di sini karena akan mengurangi keasyikan siaran itu sendiri.

Merasa sudah terlatih menghadapi kendala selama membawakan bongkar lemari buku ternyata tak lantas membuat saya terhindar dari tantangan tersendiri yang terjadi selama ngobrol seru. Sinyal yang tak bersahabat masih menjadi isu utama. Saat sinyal saya aman, sinyal tamu undangan sedang tidak bersahabat. Saya tak mungkin menyerah. Beberapa teman saya mintai pendapat bagaimana sebaiknya mengatur acara serupa agar masalah sinyal tak terlalu mengganggu. Setelah mendapat masukan dari sana sini keadaan membaik, walaupun sepertinya dalam beberapa hal, sinyal adalah urusan Tuhan semata. Saya dan siapapun yang saya undang tak berhak campur tangan. Sinyal yang terganggu tak hanya menyebabkan gambar menjadi buram atau suara datang dan pergi. Ia juga bisa menyebabkan suara salah satu dari kami seperti dipantulkan sehingga gemanya sangat mengganggu telinga. Tapi lagi-lagi hanya tangan Tuhan yang mampu membenahinya. Bersabar dan berdoa adalah kunci.

Di luar tantangan sinyal, di bulan pertama itu saya merasakan keajaiban yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Karena memang sebelumnya belum pernah ada pandemi dan belum pernah juga membuat siaran langsung. Okesip.

Keajaiban yang saya maksud sebenarnya biasa saja (gimana, sih). Haha. Begini, saya hanya tak menyangka siaran semacam ini memberi dampak cukup besar pada saya, pada lingkungan (teman-teman yang menonton) dan pada narasumber. Jadi, setelah lebih dari 3 bulan kami terkurung isolasi, ada keadaan yang mungkin tak biasa dan tak bisa dijelaskan begitu saja menyangkut kejiwaan kami. Tentu tak semua merasakan hal yang sama. Sensasi yang sama maksudnya. Tapi yang pasti there is a hole or missing a thing or anything that happened as a result of the disconnection yang kemudian mampu dikurangi atau dihadapi dengan ngobrol melalui layar seperti ini. Saya menghadapi kenyataan di depan mata bahwa manusia adalah sebenar-benarnya makhluk sosial yang tak mampu menghilangkan keinginan untuk berjumpa dengan manusia lain. 

Saya tidak sedang bermaksud menyampaikan bahwa mereka bahagia bertemu saya secara khusus. Saya hanya memfasilitasi saja. Pada akhirnya, seiring dengan bergulirnya waktu, sejak poster ngobrol saya bagikan, beragam reaksi mereka peroleh dari lingkungan mereka. Reaksi awal sebagaimana disampaikan sendiri oleh para narasumber ini adalah kekaguman dan atau ajakan mengadakan kegiatan yang sama dari lingkaran pertemanan mereka. Benih kebahagiaan di tengah isolasi mulai tampak. Kebahagiaan yang disulut dari ajakan ngobrol ini kemudian berkembang menjadi ajakan reuni komunitas, pertemuan untuk meningkatkan kegiatan melalui diskusi, atau sekedar mengingatkan bahwa mereka (para narasumber dengan lingkaran komunitasnya) pernah memiliki masa di mana kegiatan yang mereka rintis meraih kegemilangannya sendiri. Hal seperti ini menciptakan energi yang tak saya perhitungkan sama sekali di awal.

Sebagian tema yang saya angkat adalah kegiatan baru para narasumber di masa pandemi. Itu sebabnya mungkin beberapa media massa pun kemudian mengangkat tema tersebut untuk mengisi kolom beritanya. Kalau bagian yang ini saya senangnya bukan main. 

Sifat manusia sebagai makhluk sosial dengan segala keresahannya menghadapi perubahan benar-benar diuji di 4 bulan pertama pandemi ini. 

Tidak ada yang tahu kapan dan bagaimana pandemi akan berakhir. Namun tak seorangpun yang saya ajak bicara melontarkan pesimisme. Lepas dari kegamangan yang mereka hadapi, manusia mungkin sejatinya diciptakan untuk survive dalam menghadapi rintangan apapun itu.  

Jakarta, 23 November 2020

Jurnal Instagram Langsung (2)

Menyiarkan kegiatan yang kita lakukan pada publik buat saya, se-nggak ada-nggak ada-penontonnya, mesti dikasih judul. Judul paling tidak memudahkan kita membatasi wilayah pembicaraan yang dalam waktu bersamaan akan menyelamatkan kita dari mengumbar hal-hal yang tidak dikuasai atau terlalu sedikit tahu tapi merasa banyak tahu.

Oleh karenanya, judul yang saya wujudkan dalam bentuk hestek untuk siaran pertama saya adalah bongkar lemari buku. Dan percayalah, dalam video tersebut yang saya lakukan adalah sebenar-benarnya membongkar lemari buku saya. Mengeluarkan sebagian buku untuk ditunjukkan, membongkar untuk memperlihatkan bahwa ada tumpukan lain di belakangnya, ataupun sekedar memperlihatkan koleksi dalam satu sekat lemari. Saya tidak terlalu memilih kelompok buku apa yang akan saya perlihatkan atau bahas berlama-lama. Saya merasa telah menjadi induk makhluk-makhluk berhuruf itu sejak lama dan memperkenalkan mereka pada teman yang sudi menonton adalah seperti memperkenalkan anak sendiri. Bedanya mereka diam, tak berdaya selama dipindah-pindah dan dibicarakan. 

Bongkar lemari buku berikutnya bertema lebih sempit. Saya berandai-andai mungkin ada 1 atau 2 teman yang ingin tahu pendapat saya untuk seorang pengarang tertentu atau genre khusus atau mungkin juga era literasi tertentu. Tolong jangan dikira saya mengupas buku seperti akun historia.id ya, beneran jangan deh. Mereka adalah akun yang benar-benar mendedikasikan tenaga dan waktunya untuk mencerdaskan bangsa ini lewat catatan sejarah dan membagikannya dengan sungguh-sungguh. Saya tidak sedang bilang saya main-main, tapi kalau dibandingkan historia.id, jelas saya main-main. 

Selama menjadi pembaca–setidaknya 10 tahun belakangan, waktu membaca saya ditujukan untuk menggali ilmu literasi. Saya membuat catatan penting di kepala saya tentang beberapa buku dan pengarang, baik dari dalam maupun luar negeri. Buku dan nama-nama pengarang itulah yang kemudian saya jadikan judul dan tema bongkar lemari buku tadi. Beberapa buku baru juga saya sertakan agar teman-teman yang menonton tak bosan dengan arogansi saya terhadap daftar buku idola saya tersebut. Agar mereka juga mendapat informasi tentang buku baru pilihan saya, karena toh tanpa acara langsung itu saya tetap mengunggah buku bacaan yang selesai dibaca sebagai pengisi laman instagram. Bedanya, dalam acara langsung tersebut, saya bisa memberi ruang lebih banyak pada pendapat saya pribadi. Dan tentu saja, waktu dan kesempatan untuk menanggapi dalam bentuk komen dapat dilakukan secara leluasa oleh siapapun juga tanpa mereka harus membaca tulisan panjang lebar. Mereka hanya seperti sedang mengobrol saja. Well, bukan seperti tapi memang itulah yang terjadi. Haha.

Satu fakta penting saya temukan selama acara berlangsung. Bahwa apa yang disampaikan Susan Cain dan bukunya Quiet sedang terjadi pada diri saya. Most of people are saying that I am quiet/introvert or whatever it is pokoknya bentuk lawannya ekstrovert. Dalam kenyataannya, saya menemukan waktu saat saya “sedang tidak introvert”. 

Menurut Quiet, memang ada jenis manusia “campuran” seperti itu. Secampur apa saya waktulah yang nanti akan menentukan.

Koleksi buku-buku Haruki Murakami saya jadikan judul kedua setelah siaran percobaan. Kenapa Murakami yang dipilih, karena mengoleksinya 5 tahun terakhir, karena memang buku-bukunya masih banyak dibicarakan dan karena fansclubnya mendunia meskipun di Indonesia belum ada atau saya belum tahu kalau ada. Jadi, saya berharap, dengan membicarakannya, akan mampu menjadi pembuka yang baik. Satu lagi, di tiap buku Murakami selalu ada kucingnya. Heuheuu.

Berikutnya sebuah buku baru tentang depresi berjudul Lost Connection. Saya berharap ulasan saya bermanfaat di tengah situasi pandemi yang memisahkan kita semua dari interaksi langsung dengan sesama. Hasilnya cukup menyenangkan, karena ternyata seorang teman bahkan sampai minta saya meyakinkan diri untuk menyimpan tayangan tersebut. Buku tersebut untuk saya menyajikan sebuah “perlawanan” yang baik dan runut tentang keyakinan kita selama ini tentang fenomena depresi. Tak heran kalau ulasan sejadinya yang saya siarkan itu mampu membuat sebagian teman menaruh perhatian khusus.

Empat buah buku berisi sketsa keseharian yang tak lagi baru saya kupas juga sebagai bagian dari penghargaan terhadap buku-buku yang berusaha mengangkat sisi kedaerahan rakyat Indonesia. Di angkatan saya, kalau dia suka membaca, kemungkinan sudah atau paling tidak pernah mendengar kumpulan sketsa berjudul Mangan Ora Mangan Kumpul karya Umar Kayam. Nah, serial itulah yang saya maksud. Serial ini juga sempat menjadi bacaan kesayangan keluarga waktu aku SMA sampai dengan kuliah. 

Di tengah siaran langsung kali ini, saya mengalami kejadian diluar dugaan yang menyebabkan siaran saya hilang tak terekam. Saat itu, waktu saya sedang mengoceh dengan riangnya, seorang teman yang ingin bergabung dalam siaran tersebut mengirim pesan ke kotak pesan instagram. Notifikasi otomatis muncul sebagai pop-up-message yang tampak di depan mata saya yang senantiasa menatap layar sambil terus bicara. Tanpa berpikir panjang saya menekan notifikasi tersebut dan sontak wajah saya hilang dari layar berganti dengan pesan dari teman tersebut. Memang itulah yang diharapkan siapapun saat menekan notifikasi, bukan? Sayangnya, momen sesaat yang saya kira tetap mampu mengembalikan saya ke layar siaran langsung itu justru menyebabkan saya berhenti dari siaran langsung sama sekali sekaligus membuat rekaman ulasan sekitar 30 menit yang telah berlangsung hilang tak berbekas.

Saya panik seketika.

Bahkan berikutnya, saat saya kembali ke siaran langsung untuk mengulang ulasan yang hilang, saya masih tidak percaya kalau hal itu bisa terjadi. Saya tidak menyiapkan naskah sama sekali untuk tiap siaran langsung saya. Dan saat itu saya menyesal mengapa tak sedikitpun menulis panduan ringkas sebelum mengoceh panjang lebar. 

Tapi apa boleh buat, mengulang sejak awal akhirnya memang mesti saya lakukan.

Minggu berikutnya bertepatan dengan peringatan Hari Anak Nasional. Kesempatan yang tidak saya sia-siakan untuk mengoceh tentang bacaan anak yang terus terang sampai saat ini saya juga masih belajar untuk memilahnya untuk anak-anak. 

Selang beberapa hari setelahnya, saya menuntaskan novel tipis karya Putu Wijaya berjudul Byarpet. Dari judulnya saja sudah bisa ditebak seberapa “menggelitik” isinya. Akhirnya Byarpet memang saya ulas secara khusus di sesi bongkar lemari buku berikutnya. Lima tahun belakangan saya jarang membaca buku karya penulis dalam negeri. Tapi Byarpet benar-benar memberi kesan tersendiri bagi saya. Membutuhkan waktu lama untuk melupakan isi buku-buku seperti ini dalam ingatan saya. Bisa jadi ia akan melekat selamanya.   

Jakarta, 21 November 2020

IG Nastiti Hanafi

Jurnal Instagram Langsung (1)

Membuat siaran langsung sendiri di Instagram tak pernah terlintas sedikitpun di pikiran saya. Setidaknya sebelum pandemi yang memaksa saya di rumah saja terjadi. Walaupun saya tak benar-benar melihat hubungan langsung antara di rumah saja dengan membuat dan menyiarkan video rekaman sendiri (karena selama ini memang sudah di rumah), setidaknya peristiwa itulah yang mendorong saya menyediakan waktu berbicara di depan kamera. 

Awalnya sudah pasti terasa aneh. Awal yang saya maksud adalah awal latihan. Sebelumnya saya sempatkan menonton video teman-teman yang telah mengadakan siaran langsung dimana saja terlebih dulu. Sebagian besar tentu di Instagram. Sisanya di Youtube ataupun Facebook. Mulai dari menyiarkan kegiatan sehari-hari sampai mengobrol apa saja dengan teman yang mereka undang. Saya tidak menyangka ternyata menonton mereka saja sudah menyenangkan. Saya lalu membayangkan mungkinkah teman-teman yang menonton saya nanti akan merasakan hal yang sama? Kemungkinan itu datang begitu saja dan kemudian saya kesampingkan begitu saja. Membayangkan menyenangkan hati penonton rasanya terlalu jauh untuk saya yang masih menimbang-timbang konten apa yang bakal saya siarkan secara langsung nantinya. 

Membuat konten berkaitan dengan bacaan adalah hal terdekat dan paling mungkin yang bisa saya lakukan. Selain itu, saya punya banyak contoh teman yang melakukan hal yang sama. Yess, berbekal keyakinan segalanya akan berjalan lancar saya mulai meletakkan hape di tempat yang paling pas untuk menangkap wajah saya yang bakal mencurahkan kata-kata apapun itu sebagai latihan awal. Dan benar adanya, dengan mudah saya kehilangan kata-kata sekaligus rasa percaya diri begitu tombol rekam saya tekan. Seperti ada kebingungan yang menyergap tiba-tiba. Padahal saya sadar sepenuhnya kalau rekaman itu belum disiarkan dan tak ada juga yang mendengarkan latihan yang saya adakan di tempat “rahasia” itu. Geli rasanya tiap kali mengingat bagian yang ini. Meskipun demikian, saya punya hal yang membuat saya pantang menyerah. Yaitu semangat yang disuntikkan anak-anak tiap kali saya ragu dan merasa ada baiknya rencana ini dibatalkan saja. Well, yang dimaksud semangat di sini jangan dibayangkan kata-kata penuh motivasi. Semangat di sini adalah cara mereka memandang bahwa hal semacam ini hanyalah remah rengginang yang tak perlu dikhawatirkan sama sekali sebab “belum-tentu-juga-ada-yang-nonton”. Akhirnya berbekal moto tersebut saya tidak ragu lagi untuk mulai membuka lembaran siaran langsung Instagram saya yang diberi tajuk: bongkar lemari buku (menggunakan hestek).

Sesuai judulnya, saya rencanakan siaran ini berlangsung di area lemari buku di lantai dua. Lantai ini memang hanya berisi 2 lemari buku, sebuah piano, sebuah kamar, sebuah kamar mandi. dan tempat mencuci baju sekaligus tentu jemurannya di bagian luar. Menentukan letak hape agar tampilan saya enak dilihat sementara saya malu untuk terlihat telah mempersulit keadaan. Lebar tampilan tangkapan layar hape juga bukanlah hal yang memudahkan saya menyelesaikan permasalahan tadi. Ukur mengukur jarak, menaikkan dan menurunkan posisi kamera terasa sangat lama. Tapi toh “belum-tentu-ada-yang-nonton” juga. Untuk apa terlalu dipermasalahkan. Yang penting tambahan kegiatan yang tampaknya bakal seru setidaknya untuk diri sendiri ini tetap berjalan. Untuk itu akhirnya saya tetapkan: tarik, Maang!

Siaran pertama akhirnya terlaksana tanggal 3 Juli 2020 pukul 4 sore.

Jakarta, 17 November 2020

IG Nastiti Hanafi

Tako

Dimuat di majalah sastra MAJAS edisi 7

Diambil dari instagram pipitchoco

Bila seseorang menyukai dongengmu, bisa jadi hidupmu tak akan lama lagi.

Aku mendengar kecipak air. Bunyi sepasang kaki dengan langkah teratur menapaki jalanan yang tergenang. Ada yang bilang genangan tersebut karena kepala kota tak becus mengurus saluran air hingga hujan yang tak kunjung berhenti tak jua mengalir ke tempat yang semestinya. Aku tanyakan pada Pei, Juna dan Man di mana air itu seharusnya bermuara. Mereka hanya mengatakan ‘di endasmu!’

Kecipak air terdengar makin kuat dan cepat. Kenangan peristiwa berkelebat memangkas napas pendekku yang terengah. Aku tak lagi bersama Tako, kucing kesayanganku yang berwarna kembang telon, berbulu halus bak sutera. Matanya kehijauan dengan sorotnya yang teduh. Siapapun yang mengelus bulunya dapat segera melupakan hal-hal buruk yang menimpanya. Menggantikannya dengan harapan akan masa depan yang  indah. Siapapun yang bersitatap dengannya seolah sedang memandang danau paling tenang di muka bumi dan ingin tenggelam ke dalamnya. Hampir semua teman yang kukenal di kota Jakarta ini memercayainya. Jangan tanyakan bagaimana Pei, Juna dan Man yang kuceritakan tadi menyukai Tako. Mereka nyaris menyembahnya. Tako cepat mendengkur saat berada di pangkuan salah satunya. Dan mereka  bangga karenanya.

Aku menyimpan kisah bahwa Tako adalah Tesih yang mereka kenal. Anak pedagang cendol yang mangkal di sudut pasar sebelah timur. Gadis berkulit sawo matang yang jarang bicara dan mempunyai tahi lalat sebesar kelereng di lengan kanannya. Ia dikenal orang pasar sebagai asisten penjual cendol hanya hingga dirinya dilamar oleh mantan tukang ojek yang enggan beralih ke ojek online karena rasa solidaritasnya pada sesama teman seperjuangan di pasar. Ia juga enggan belajar mengoperasikan layar telepon pintar yang konon merusak otak anak sekolah itu. Orang itu adalah aku. Sesungguhnya aku bukannya enggan belajar mengoperasikan telepon pintar. Aku mau. Hanya saja aku tak pernah dipercaya untuk memilikinya. Tidak sebelum Tako akhirnya membantuku memperoleh segala yang kuinginkan.

Hampir tiap malam sebelum tidur, jauh sebelum Tako membantuku dengan caranya sendiri, aku kerap bergumam dalam bahasa Jawa tentang apa saja yang diceritakan teman-temanku di pasar. Kukatakan pada diriku sendiri apa jadinya kalau Juna tak juga menikah dengan Mawar, Muna, atau siapapun itu aku tak ingat namanya, janda beranak satu. Pasti dia masih berlagak menjaga penghuni pasar padahal mengincar gadis-gadis belia yang bisa diiming-imingi perhiasan hasil curiannya. ‘Kapokmu kapan, Jun’ terlontar begitu saja dari mulutku. Tako membuka sedikit matanya sebelum melanjutkan tidurnya dengan melingkarkan tubuhnya di dekat kepalaku. Ekornya yang panjang seringkali mampir ke wajahku. Tako sepertinya menganggap gumamanku nyanyian pengantar tidur. Ia sulit memejamkan mata bila tak ada hal yang kugumamkan sebelum kantuk menaklukkanku. Aku rasa, itulah awal mula aku terbiasa menjaga kedekatan dengan seseorang melalui dongeng. Sebrengsek apapun dongeng itu.

Dongengku tiap malam berganti sebagaimana kehidupan di sekitarku bergulir. Dengan tokoh yang itu-itu saja. Ketiga preman pasar yang telah kuanggap saudara sendiri: Pei, Juna dan Man. Mereka berubah seiring kesialan yang mereka anggap rezeki, sementara aku—sang pendongeng—masih berkutat dengan utang uang makan harian dan ketidakmampuan memiliki hape yang selalu menjadi bahan olok-olok utama di antara kami. Hingga suatu hari, di tengah lebatnya hujan yang mengguyur atap kamarku yang senantiasa bocor, Tako menghilang. Tako yang tak pernah mengeluh, Tako yang mendampingiku ke mana saja, Tako yang setia dengan dongengku, Tako yang dengannya aku rela tak memiliki kemajuan apapun di hidupku asalkan bisa bersamanya. Tidak, Tako tak boleh hilang!

*

Diambil dari koleksi pribadi

Sebut saja ia Juragan Owoh. Julukan itu sebenarnya kusematkan padanya setelah beberapa kali kami bertemu. Pertemuan kami tentu saja, tak mungkin tidak, berhubungan dengan hilangnya Tako yang membuatku panik setengah mati. Berlari di bawah terik matahari yang menyengat ataupun derai hujan yang menusuki kulit bagiku sama dramatiknya. Saat itu, tengah malam buta, aku menembus hujan sambil berdoa dramatisasi kali ini terlihat oleh yang kuasa hingga Ia mengembalikan Tako-ku tanpa kuharus gila karena frustasi. Mungkinkah ia mengeong di tengah hujan sambil menahan lapar? Menanti uluran tangan siapapun yang melihatnya berjalan sendiri di malam yang basah ini? Menjelang fajar, kulihat Tako-ku di dalam sebuah kandang di depan kios sate yang masih tutup. Saat itulah aku pertama kali berkenalan dengan Juragan Owoh.

Andai saja aku berkenalan saat ia belum ditinggal kabur istrinya yang mabuk kepayang dengan supir angkot dan anaknya yang diam-diam menghabiskan sisa tabungannya di bank, mungkin keadaannya akan lain.

“Kamu tau berapa harga ayam sekarang?” ujarnya membentakku saat aku mengatakan bahwa Tako adalah milikku. Mata merahnya melotot ke arahku. Tentu ia tak sungguh-sungguh bertanya hingga aku pun tak merasa perlu menjawab.

“Jawab!” Aku masih terdiam.

“Jawab! Kurang ajar!” Kipas sate di tangannya nyaris menyambar kepala Tako sebelum akhirnya aku memohon maaf padanya sambil menghalangi kipasnya menyentuh Tako.

“Maaf? Sini kembalikan uangku!”

Aku sedang berpikir keras bagaimana mengendalikan keadaan sementara orang-orang mulai berkerumun di sekitarku. Di luar dugaan, Juragan Owoh menyuruhku masuk ke dalam rumahnya. Rupanya ia pun jengah dengan orang-orang yang tak bisa mengendalikan diri untuk mencampuri urusan orang lain. Hatiku lega meski tak urung kemungkinan petaka baru justru baru dimulai.

Aku keliru. Di dalam rumahnya yang sekaligus berfungsi sebagai warung sate ia menyuruhku minum segelas air putih sebelum bercerita apa yang terjadi semalam saat ia lupa menutup pintu depan rumahnya.

“Entah berapa kucing, anjing, belum lagi tikus…monyet ada juga kali yang mampir lewat pintu depan mengambil ayam-ayam mentah di dalam lemari…”

Ia mengelap dahinya yang kering dengan tangan sambil memijit-mijit pelipisnya.

“Sekarang aku bisa minta apa sama binatang-binatang itu, ha!”

Sejak keinginan mendongeng selalu datang, aku kerap mempercayai instingku untuk mengatakan sesuatu tanpa berpikir terlebih dahulu. Dan itulah yang terjadi kemudian.

“Aku akan menggantinya…dengan dongeng…maksudku, Tako bisa bercerita…bukan begitu, maksudku aku bersama Tako bisa bercerita untuk mengurangi rasa sedih Bapak…”

Aku tak mengira kalau ia sama sekali tidak marah mendengar tawaranku itu. Ia hanya menatap lantai rumahnya sebentar, terdiam, lalu mengalihkan tatap kosongnya ke dinding yang catnya mengelupas. Apa jadinya kalau tawaran yang sama kulayangkan ke teman premanku di pasar. Bisa-bisa aku dibuangnya ke kali terdekat.

Kenyataan bahwa Juragan Owoh pernah memiliki kucing kesayangan melunakkan kemarahannya pada Tako dan membukakan jalan padaku untuk berbagi dongeng dengannya.

“Hari ini aku tak bisa jualan. Ya sudah, terserah kamu saja kalau mau cerita! Apa saja, yang penting pening di kepalaku reda!” ujarnya sambil melempar kipas satenya ke meja.

Sejak hari itu, tiap sore usai warung tutup, aku  mampir ke warung Juragan Owoh untuk mendongeng. Aku bercerita tentang Pei, Juna dan Man yang kuganti namanya dan kutambahkurangi kisahnya di sana sini. Bini Juna yang janda itu tentu tak pernah memergoki suaminya nekat mencolek pantat janda lain di pasar hingga akhirnya memviralkannya di sosial media. Juga Man yang gemar melamun di pinggir sungai bertemu ikan duyung berambut panjang yang ternyata laki-laki. Belum lagi Pei yang berak di WC yang sejatinya dibangun untuk tempat syuting dan kemudian ia ditawari menjadi aktor karena aksi beraknya yang natural itu. Ia tak mengatakan suka atau tidak dengan kisahku. Yang pasti tiap sore pintu selalu terbuka untukku dan Tako. Segelas air putih selalu tersedia di meja untukku.

Tiap kali mendengar kisahku mulutnya senantiasa terbuka. Apapun yang kukatakan membuatnya bergumam ‘oh’ yang tak pernah berakhir sebab mulutnya hanya tertutup waktu cerita selesai. Sebenarnya aku tak tahan dengan aroma yang menguar dari mulutnya. Tapi aku cukup tahu diri untuk tidak mempersulit keadaanku yang sudah tak menentu ini. Sepulang dari warung sate aku kerap berjumpa teman-teman premanku di pos kamling yang terbengkalai. Pertanyaan utama yang selalu dilontarkan padaku adalah,”Ngowoh lagi?” 

*

Hingga akhirnya rentetan peristiwa itu datang. Belum genap seminggu aku bertandang ke rumah Juragan Owoh, perubahan demi perubahan dengan cepat terjadi. Rumah warung yang awalnya kurang lebih lima kali enam meter persegi itu berubah kerangka besi yang sedianya menopang bangunan seluas 300 meter persegi. Bagian depan akan tetap menjadi tempat makan tapi bukan lagi kelasnya warung. Anak Juragan satu-satunya yang awalnya kabur karena merasa bersalah tiba-tiba pulang dan selang dua hari kemudian diusir ayahnya yang memintanya membawa semua barang-barangnya karena hanya akan mengotori rumahnya yang baru saja.

 Apalah arti rumah baru tanpa penghuni yang memadai. Juragan Owoh ternyata cukup piawai dalam mencari pendamping baru. Ia benar-benar berniat memperbarui seluruh kehidupannya. Istri baru, asisten pribadi baru, mobil baru, dan banyak hal baru lainnya yang tak bisa disebutkan satu per satu. Hanya aku dan Tako yang tak ubahnya monumen yang dipertahankan olehnya. Ia meyakini perubahan hidupnya disebabkan oleh kehadiranku dan Tako. Aku tak ingin tahu bagaimana ia bisa meyakini hal itu. Hape baru dan jaminan makan sehari tiga kali serta tempat tinggal gratis yang diberikannya untukku cukup membutakan keingintahuanku.

“Kau dan Tako sangat berjasa untukku. Aku akan membantumu mencarikan istri dan rumah baru. Tenang saja,” ujarnya suatu hari.

Tentu aku tak menolak rumah baru. Tapi istri baru? Bagaimana perasaan Tako nantinya? Akhirnya aku memutuskan untuk mengatakan yang sesungguhnya pada Juragan Owoh tentang Tako. Bahwa Tako dulunya adalah Tesih, istriku yang ada tahi lalat di lengan kanannya. Tak cukup hanya menjelaskan, aku juga menunjukkan tahi lalat di lengan kanan Tako yang mungkin selama ini luput dari perhatiannya.

“Jadi begitu Juragan…rumah baru saja, ya, tidak usah istri baru…”

*

Aku mengerti beberapa orang mengakhiri sebuah kisah dengan kematian. Satu hal yang sesungguhnya aku hindari. Karenanya, kematian Juragan Owoh karena serangan jantung mendadak sesaat setelah kuceritakan bahwa Tako adalah Tesih istriku, bukanlah akhir dari sebuah kisah. Ia adalah awal perjalanan lain kisahku yang tak lepas dari kehidupan preman yang kali ini merangkap pembunuh bayaran.

“Nyawa mesti dibayar nyawa,” ujar anak tunggal Juragan Owoh yang sesungguhnya telah diusir ayahnya. Hidupnya yang kian terhimpit memaksanya menawarkan jasa pada keluarga baru Juragan Owoh untuk mengejar dan menangkapku dengan imbalan sejumlah uang. Dengan caranya sendiri ia berhasil meyakinkan banyak orang bahwa aku adalah paranormal kejam yang mengambil keuntungan sesaat dari tiap pelangganku.

*

Lalu langkah kaki yang menimbulkan kecipak air kian jelas mendekat.

Hatiku lega tiap mengingat kalau Tako telah kutitipkan pada tiga orang sahabatku.

Biar aku sendiri yang menghadapi mereka.

“Tako, doakan aku…”

***

Jakarta, akhir Februari 2020

Dipersembahkan untuk seluruh pencinta kucing dimanapun berada

Mengoptimalkan Performa Kepemimpinan Melalui Pelimpahan Wewenang

Dimuat Parrish&Co 4 September 2019

Setiap orang dalam sebuah organisasi mempunyai hak untuk menjadi ahli di bidangnya masing-masing. Kalimat tersebut diucapkan John Shook, seorang trainer perusahaan perakitan mobil raksasa Toyota kepada Charles Duhigg, penulis buku Smarter Faster Better saat mengingat keterlibatan dirinya sebagai pelatih karyawan ex General Motor, rekan Toyota Production System di Amerika.

Bergerak di bidang yang sama, setelah dua tahun mengakhiri kegiatannya di Fremont, tahun 1984 General Motor menerima tawaran Toyota Production System untuk bekerjasama mendirikan New United Motor Manufacturing, Inc. atau biasa disebut sebagai NUMMI. Lahan di Fremont dibuka kembali. Terikat pada kesepakatan dengan United Auto Workers, NUMMI diharuskan menerima paling tidak 80% karyawan eks General Motor. Oleh karenanya, pelatihan khusus dibutuhkan oleh karyawan-karyawan tersebut. Pelatihan tak hanya meliputi pengenalan piranti baru namun yang utama adalah cara kerja dan kultur yang telah ditumbuhkembangkan oleh Toyota selama ini.

Diambil dari website Parrish&Co

Pada awal kesepakatan kerjasama dibuat, rumor bahwa Toyota menerapkan sistem kerja yang berbeda telah tercium oleh eks karyawan General Motor. John Shook di antaranya menyatakan bahwa Toyota meyakini bahwa seorang penerima tamu, atau tenaga pembersih toilet, maupun seorang cleaning service adalah ahli di bidangnya masing-masing. Adalah sangat membuang waktu untuk tidak mempercayai keahlian mereka dan memanfaatkan keahlian tersebut sebaik-baiknya. Toyota tak menyukai kegiatan yang membuang-buang waktu. Sistem yang mereka gunakan selama ini adalah memastikan bahwa keahlian sekecil apapun tak pernah disia-siakan.

Filosofi tersebut pada awalnya diragukan oleh General Motor. Mereka bahkan menganggap bahwa sistem tersebut tak mungkin diterapkan di Amerika, mengingat selama ini target kerja mereka hanyalah melakukan pekerjaan sesedikit mungkin. Seiring berjalannya waktu, sistem kerja tersebut terbukti membawa kemajuan yang sangat berarti bagi NUMMI dan juga bagi karyawan eks General Motor secara pribadi.

Seperti apa model kerja yang diterapkan Toyota pada waktu itu hingga saat krisis ekonomi melanda Amerika empat tahun sesudah NUMMI berdiri bahkan tak mampu membuat perusahaan tersebut memecat satupun karyawannya? Berikut hal penting yang layak diterapkan pada model kepemimpinan sebuah perusahaan atau organisasi berdasarkan pengalaman penting tersebut:

  1. Memberi otoritas penuh pada karyawan di posisi manapun. Meyakini bahwa mereka ahli di bidangnya masing-masing terbukti memberikan dorongan yang sangat berarti pada rasa percaya diri yang pada akhirnya membentuk komitmen untuk bekerja lebih optimal dari waktu ke waktu.
  2. Rasa percaya diri dan komitmen untuk bekerja lebih baik akan membentuk kerjasama antar karyawan dengan lebih baik pula. Masing-masing karyawan di bidangnya masing-masing akan merasa perlu mendukung kerja rekannya di bidang yang lain agar hasil akhir yang diinginkan tercapai.
  3. Karyawan yang dipercaya di bidangnya tersebut juga dipercaya untuk membuat keputusan-keputusan penting bagi perusahaan. Kebiasaan tersebut akan sangat menguntungkan pemimpin/manager dari segi efisiensi waktu dalam menentukan keputusan yang dibuat oleh ahlinya. Pintu-pintu inovasi pun kemudian akan lebih mudah terbuka.

Pada akhirnya, hal penting yang akan selalu harus dijaga adalah bagaimana seorang pemimpin mampu menciptakan suasana kerja/kultur yang membuat karyawan menjadi sosok penting yang pendapat dan keputusannya dihargai. Budaya fokus pada solusi akan tercipta saat kegagalan atas usulan karyawan tak membuatnya menanggung kesalahan itu sendirian.

***

Mencintai Hard Work Menghasilkan Smart Work

Dimuat Parrish&Co 21 Agustus 2019

Bila kita mengetikkan kata hard work and smart work di kolom pencarian google, akan kita temui beragam kisah yang menggambarkan perbedaan keduanya. Hard work (kerja keras) pada umumnya digambarkan sebagai sebuah upaya yang dilakukan terus menerus untuk meraih tujuan. Upaya tersebut dilakukan dalam kurun waktu yang tidak singkat untuk memperoleh hasil yang optimal. Ketekunan dan waktu menjadi kunci utama upaya jenis ini. Sementara smart work (kerja cerdas) adalah upaya meraih tujuan yang lebih banyak digambarkan sebagai sebuah proses keberhasilan melihat peluang, dimana pelaku berhasil meraih tujuan dalam waktu yang lebih singkat ketimbang hard work. Keberhasilan yang diraih pun tak jarang memiliki ruang lingkup yang lebih luas. Meningkatnya efisiensi kerja dalam berbagai bidang kemudian menuntut seseorang untuk mampu menempatkan dirinya sebagai smart worker, bukan lagi hard worker yang dipandang sebagai model kerja yang sudah ketinggalan zaman.

Seiring dengan waktu, ternyata smart work yang diyakini sebagai alat jitu meraih kesuksesan tidaklah sesederhana meringkas waktu pencapaian dengan mengandalkan kemampuan melihat peluang. Dalam bukunya yang berjudul Outliers (2008), Malcolm Gladwell memaparkan sebuah ide tentang 10.000-Hour Rule dimana pencapaian optimal seseorang dalam berkarir membutuhkan setidaknya sebuah level minimum berlatih tertentu yang dilakukan secara terus-menerus guna mencapai tingkatan ahli. Dalam kenyataannya, para peneliti menetapkan apa yang mereka yakini sebagai sebuah kurun waktu tertentu untuk meraih sebutan ahli, yaitu 10.000 jam. Dalam bukunya Galdwell menunjukkan bukti bahwa kehebatan sebuah pencapaian bukanlah berasal dari bakat alam melainkan melalui akumulasi latihan sebanyak-banyaknya yang dilakukan di waktu dan tempat yang tepat.

Cal Newport dalam bukunya berjudul So Good They Can’t Ignore You (2012) mengajak kita kembali mencermati pola pikir seperti apa yang layak dikembangkan dalam upaya meraih kesuksesan dalam berkarir. Hasil penelitian yang melibatkan beragam responden mulai dari musisi hingga penulis skrip film sukses di Amerika membuatnya yakin bahwa kerja keras (hard work) yang dilakukan secara konsisten dengan mengembangkan pola pikir perajin (craftman mindset) adalah kunci sukses berkarir. Craftman Mindset dapat dimulai dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

  1. Tentukan pangsa pasar/bidang yang diinginkan.

Secara umum bagian ini dijabarkan sebagai pangsa pasar yang menghendaki keahlian tunggal (winner-take-all) atau yang menghendaki keahlian beragam (auction). Menentukan pangsa pasar yang ingin digeluti menjadi penting mengingat persiapan yang dilakukan sangat berbeda. Newport memberi contoh bahwa bidang penulisan skrip film televisi yang termasuk winner-take-all market tak bisa dicapai dengan mengandalkan pengalaman kerja dari beragam bidang sebagaimana layaknya seorang pemerhati lingkungan dimana sebaiknya ia menguasai berbagai bidang sebagai upaya menggeluti auction market.

2. Identifikasi modal yang dibutuhkan untuk mendukung pilihan pangsa pasar.

Modal yang dimaksud tentu tak hanya berkaitan dengan sejumlah materi atau pengalaman kerja. Kesempatan-kesempatan yang terbuka sejak penentuan pangsa pasar penting untuk dicermati dan ditindaklanjuti.

3. Tentukan makna “keberhasilan”.

Setiap individu memiliki tolok ukur terhadap keberhasilannya masing-masing. Adalah sangat penting untuk menentukan seperti apa keberhasilan yang ingin diraih setelah pangsa pasar dan modal ditentukan. Tanpa penentuan yang jelas, seorang tak akan mampu mengukur seberapa jauh usaha harus dilakukan untuk meraihnya.

4. Renggangkan dan hancurkan.

Satu hal yang penting dilakukan dalam menerapkan pola pikir perajin dalam meraih kesuksesan adalah praktik serius yang dilakukan secara terus-menerus (deliberate practice). Deliberate practice yang dimaksud di sini adalah sebuah praktik rutin yang mengeluarkan kita dari kondisi nyaman. Bila praktik yang dilakukan belum terasa tidak nyaman, itu artinya ia haruslah direnggangkan ke area yang lebih luas hingga rasa tidak nyaman tercapai. Anders Erricson menguraikan bahwa bila upaya merenggang tersebut tidak dilakukan, kita akan berhenti pada level tertentu sebelum kemudian berhenti pada zona nyaman. Upaya yang direnggangkan akan menghancurkan dinding zona nyaman dan membawa kita pada kesuksesan yang sesungguhnya.

5. Bersabar.

Untuk mencapai tingkatan ahli, bersabar melalui proses panjang akan menguji komitmen kita terhadap bidang yang sedang ditekuni. Bersabar juga menjadi bagian dari deliberate practice dalam menghadapi beragam hal manis yang menggiurkan yang akan selalu menggoda kita untuk beralih dari ketekunan yang telah dijalani.

            Memahami berkembangnya pola meraih kesuksesan dalam karir seperti diuraikan di atas, boleh kiranya disimpulkan bahwa kerja cerdas (smart work) adalah sebuah kemampuan dalam mencintai kerja keras (hard work) dimana seiring dengan waktu akan berubah menjadi peningkatan keahlian yang akan memberikan ciri khas tersendiri pada pencapaian. Keahlian itulah yang nantinya akan menentukan kesuksesan yang ingin diraih.

Diambil dari website Parrish&Co